30.7 C
Yogyakarta
Friday, June 20, 2025
spot_img

Renungan Mendalam Idul Adha dalam Pandangan Seyyed Hossein Nasr

Idul Adha hadir seperti hujan yang jatuh di musim kering batin. Ia bukan sekadar pesta daging, bukan pula sekadar gema yang menggetarkan langit pagi sejak malam takbir. Idul Adha ialah undangan suci untuk merenungi ulang hakikat kehidupan dan pengorbanan. Dalam sunyi hati yang resah, kita diingatkan tentang Nabi Ibrahim yang rela mengorbankan putranya, Ismail, demi ketaatan yang tak tergoyahkan.

Dalam dunia yang riuh oleh ego dan ketamakan, peristiwa ini seakan menjadi cermin yang retak. Bagaimana mungkin manusia modern, yang begitu terikat pada duniawi, sanggup memahami makna melepas sesuatu yang ia cintai demi Tuhan?

Dimensi Transenden: Qurban Sebagai Jalan Menuju Kesucian

Menurut Seyyed Hossein Nasr, seorang filsuf dan pemikir Islam kelahiran Iran, pengorbanan dalam Islam bukanlah sekadar simbolik atau ritual belaka. Dalam karya-karyanya seperti “Knowledge and the Sacred” dan “The Heart of Islam”, Nasr menekankan bahwa pengorbanan adalah bentuk kembalinya manusia pada pusat kesuciannya, yakni Tuhan.

Nasr menyebut pengorbanan sebagai “act of returning to the Center”, tindakan untuk kembali ke pusat. Dalam kosmologi spiritual Islam, “pusat” ini adalah titik di mana manusia sepenuhnya berserah kepada kehendak Tuhan. Dan tidak ada kisah yang lebih jelas menggambarkan hal itu selain kisah Ibrahim, yang rela melepaskan Ismail bukan karena ia tidak mencintainya, tetapi karena cintanya kepada Tuhan jauh melampaui segala-galanya.

Nasr memandang bahwa dalam setiap tindakan qurban, tersirat pesan untuk melepaskan keterikatan terhadap dunia (al-dunya), dan kembali kepada keterhubungan yang intim dengan Yang Maha Suci. Idul Adha, bagi Nasr, adalah perayaan transendensi jiwa atas nafsu, dan simbol bahwa manusia masih memiliki kesempatan untuk menjadi “hamba sejati”.

Dengan kata lain, Idul Adha bukan sekadar momen tahunan, tetapi simbol abadi dari perjuangan batin manusia untuk melepaskan dunia dan kembali kepada yang Ilahi. Dalam setiap darah yang menetes, dalam setiap takbir yang menggema, seharusnya ada kesadaran mendalam bahwa yang sejatinya sedang dipanggil ialah jiwa yang bersih dan pasrah.

Krisis Makna di Tengah Modernitas

Namun, betapa jauh makna itu dari realitas kita hari ini. Di tengah arus konsumerisme dan kapitalisme, Idul Adha justru sering kali menjadi ajang kompetisi sosial. Siapa yang menyembelih sapi paling besar, siapa yang bisa menyumbang paling banyak, siapa yang bisa mengabadikan momen penyembelihan dalam unggahan media sosial. Qurban menjadi tontonan massal, bukan lagi kontemplasi spiritual.

Seyyed Hossein Nasr sangat kritis terhadap kondisi seperti ini. Dalam berbagai tulisannya, ia mengkritik bagaimana modernitas telah mereduksi ibadah menjadi aktivitas teknis, kehilangan dimensi sakralnya. Dalam pemikirannya, dunia modern telah membunuh simbol, dan akibatnya, manusia kehilangan arah terhadap makna terdalam dari ibadah yang ia lakukan.

Ketika qurban kehilangan ruhnya, maka ia tak lebih dari sekadar penyembelihan hewan. Ia berhenti menjadi jembatan spiritual, dan justru menjadi ruang kosong yang diisi ego manusia. Di sinilah tragedi Idul Adha modern, ia dirayakan secara lahir tapi dilupakan secara batin.

Menjadi Ibrahim di Tengah Dunia yang Lupa

Di tengah pusaran dunia yang terus memaksa kita mencintai dunia lebih dari Sang Pencipta, Idul Adha memberi kita ruang untuk bertanya, apa yang paling kita cintai hari ini? Dan apakah kita siap melepaskannya demi Dia?

Mungkin bagi sebagian, itu adalah harta materi. Bagi yang lain, mungkin adalah ego. Dan untuk banyak dari kita, itu adalah rasa nyaman dalam ketidakpedulian.

Menjadi Ibrahim bukanlah tentang benar-benar menyembelih anak, tetapi menyembelih nafsu, ambisi, keangkuhan, dan rasa memiliki yang berlebihan. Itulah yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim. Dan itu pula yang dipahami Nasr sebagai “spiritual act” yang agung, melepaskan untuk menemukan.

Banyak pelaksanaan Idul Adha di zaman ini kehilangan esensi ruhaniyahnya. Kurban menjadi formalitas yang kehilangan makna batin. Bahkan, distribusi daging sering tidak tepat sasaran dan hanya menjadi kegiatan seremonial. Penceramah agama pun kerap kali tidak mengajak umat untuk merenung secara eksistensial, tapi sekadar menekankan fiqih teknis belaka.

Idul Adha bukan sekadar hari raya. Ia adalah jeritan jiwa yang rindu untuk kembali. Ia adalah waktu di mana setiap manusia ditanya ulang tentang apa yang paling ia cintai, dan apakah ia siap kehilangan itu untuk Tuhan.

Sebagaimana Ibrahim yang rela, dan Ismail yang pasrah, kita diajak untuk menjadi makhluk yang tidak hanya hidup di dunia, tetapi juga hidup dalam kesadaran akan yang Ilahi. Dan dalam sunyi pagi takbir itu, semoga kita mendengar bisikan Tuhan di dalam hati, “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai.”

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru