28 C
Yogyakarta
Monday, December 23, 2024
spot_img

Seruling rindu dalam hati manusia

“Dengarkanlah seruling ini, betapa ia mengadu atas kisah derita keterpisahannya.”

“Ia berkata : “semenjak aku dipisahkan dari rumpun bambu, dalam lirihku, laki-laki dan perempuan meyautinya”.

“Aku menginginkan hati yang tercabik-cabik oleh derita keterpisahan, agar kututur derita keterpisahan.”

“Siapa yang jauh dari kampung halamnnya, suatu hari nanti akan Kembali mencarinya.”

“Aku merintih pada setiap kerumunan, baik dalam majelis kebahagiaan dan kesediahan.”

Bait-bait syair diatas adalah pembuka dalam kitab Matsnawi Ma’nawi karya Sang Sufi besar dari Konya, Turki. Jalaluddin Maulana Rumi (1207-1273M). Bait yang ia tulis dalam kondisi terbakar api cinta Ilahi melukiskan dengan indah akan rintih kerinduan hati manusia untuk berpulang ke kampung halamnnya, kepada Tuhan. Mengutip perkataan Pierce Teilhard de Chardin : “kita bukanlah manusia yang mempunyai pengalaman spiritual. Namun, Kita adalah makhluk spiritual yang merasakan pengalaman menjadi manusia”. Maka sejatinya inti dari manusia itu sendiri adalah sisi spiritualnya dan tidak sebatas pada sisi material yang selama ini diyakini oleh kalangan positivis (saintis).

Sebagaimana kehadiran kita didunia ini. Jauh dilumbuk hati terdalam, kemauan untuk kembali ke jalan yang lurus setelah berbuat salah senantiasa mengema di dalam hati nurani tanpa keinginan kita sendiri. Inti dari keseluruhan bait diatas mengisyaratkan sakitnya hati di dera rindu akan jauhnya jarak antara hati dengan Allah. Namun, ada hal menarik dalam bait-bait tersebut, yakni pada kata “Seruling”. Dan itulah yang hendak penulis bahas dalam tulisan ini. Pada bait syair yang lain, Rumi melukiskan dengan indah :

Jadilah kosong, lalu merataplah

Seperti buluh perindu

Lebih kosong, jadilah bambu.

Lalu, seperti pena

Tulislah banyak rahasia-Nya

Kata “Bambu” di sini mengacu pada sejenis alat musik mirip seruling yang berukuran agak besar. Yang bila ditiupkan mengeluarkan bunyi menyayat yang dalam. Maksud Rumi ialah pengosongan diri dari ego tidaklah cukup dengan masih menyisakan ruang ego dirongga hati. Pembersihan haruslah tuntas agar gemaan suara hati lebih nyaring untuk merindu kampung halamnnya, yakni bertemu dengan sang kekasih, Allah. orang yang merindu mestinya pernah bertemu dengan yang ia cintai dahulu. Dan ini pun berlaku pada hati terdalam manusia, Allah SWT berfirman : “Maka, apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya dan telah meniupkan roh-Ku kedalamnya…” (QS : Al-Hijr 15:29). Maka inilah sebabnya Rumi menggunakan frasa “Rumpun Bambu” sebagai metafor dari pada Allah SWT dan manusia sebagai “bambu” yang diambil dari rumpunnya mesti “melubangi dirinya” layaknya bambu kosong agar bisa hidup dengan merindukan “asalnya” dan oleh karenanya menjalani hidup ini penuh dengan aura saling mencintai. Kemudian “Lalu, seperti pena Tulislah banyak rahasia-Nya” artinya tersingkapnya manusia dari keindahan-keindahan akan semua yang Allah perbuat. Bagi para Sufi ini disebut dengan mukasyyafah tersingkapnya keagungan Allah.

Untuk menjadi seruling, Upaya yang harus dilakukan adalah mengikis ego dalam diri hingga kosong dan darinya kemudahan mendapat kerinduan Ilahi dapat tergapai. Seseorang yang masih saja terus-menerus menghabiskan waktunya memuaskan syahwat duniawi takkan mungkin sadar bahwa sejatinya jauh di dalam dirinya, dirinya yang paling dalam sedang merindu kampung halamannya, Ia adalah seseorang yang lupa dengan kekasihnya, kerinduan kepada Allah Azza wa Jalla. Dan selamanya Ia tidak akan memperoleh kebahagiaan yang hakiki. Ihwal ini dilukiskan Rumi dengan memukau :

Pencinta menyawang arus Sungai

Rindu menjadi air terjun,

Tuk runtuh bersimpuh, hingga titik paling rendah

Bersujud sepenuh!

Wahai sobat

Yang kau lihat pada diriku,

Hanyalah cangkang dan sangkar

Selebihnya milik cinta

Kata “Cangkang dan Sangkar” menjadi bukti akan diri ini tidaklah sejati (fana), dan Mutiara yang didalam cangkang adalah yang berharga. Namun, dikarenakan manusia dewasa ini lebih mementingkan yang tampak alias fisik, maka mutiara kesejatian malah Ia buang dan cangkangnya malah Ia simpan. Setiap orang yang berakal sehat pastilah memilih Mutiara dan membuang cangkanngnya. Namun, karena terbiasa dengan pemuasan diri (ego) maka penglihatanyan terhadap apapun menjadi dangkal, Ia menjadi tidak waras. Pengikisan ego atau dalam tasawuf lebih dikenal sebagai Mujahadah dan Riyadhah menjadi pintu pertama untuk membersihkan ego dan mesti dilakukan dengan intens, terus menerus dibersihkan hingga begitu kosong seperti bambu. Hakikatnya hati ini di design untuk selalu condong kepada ketaatan kepada Allah SWT. Namun, apakah berarti ini berarti pengekangan kebebasan ?. Tentu tidak, justru ini membebaskan manusia. Jika manusia melakukan semuanya yang ia inginkan tanpa berhenti maka kesengsaraanlah yang akan ia tanggung dimasa yang akan datang. Alih-alih bebas malah sejatinya ia terbelenggu oleh egonya sendiri. Maka terkendalinya ego atau nafsu sering dipahami oleh kaum sufi dengan mematikan diri (hasrat nafsu) ini lalu hiduplah Diri yang sejati, dalam istilah tasawuf dikenal dengan fana wa baqa’ .

Dimata Rumi, kematiaan bukanlah akhir dari pada kehidupan, melainkan sebaliknya, kematiaan adalah awal dari kehidupan sendiri. mengakhiri kehidupan dan membuka lembaran hidup yang baru, dengan diri yang lebih baik, lebih tenang, dan lebih damai, diri yang terlahir kembali. Mungkin ada yang menafsirkan bahwa kehidupan yang asketik atau pertapaan adalah jalan yang ditempuh atau yang diajarkan Rumi. Jawabannya tidak, Rumi menjadikan Cinta sebagai pusat dari ajarannya. Cinta adalah keikhlasan, ketundukan, dan keberanian untuk berbuat baik dengan penuh gairah. Dalam pengejawantahan bentuk kecintaan kepada Allah sebagai “Rumpun Bambu” maka melaksanakan apa yang Allah wahyukan melalui perantara Nabi SAW adalah misinya. Dengan perbuatan yang didasari cinta maka berbuat baik menjadi lebih indah.

Jadi bila ditarik secara garis besar. Untuk menjadi manusia yang bebas termasuk dari belenggu Hasrat diri yang tanpa henti menyeret manusia kedalam Lembah Kesia-siaan. Dan dapat mengaktualisasi segenap potensi dalam diri yang merupakan kebahagiaan yang sejati dan mendatangkan makna dikehidupan ini. Rumi mengajak kita untuk membersihkan rongga hati dari kecenderunggan negatif hingga benar-benar bersih, sebagaimana kosongnya seruling bambu yang dapat melantunkan bunyi menyetuh hati akan kerinduannya kepada habitat awal dirinya, hutan bambu. Ini adalah metafor untuk jiwa manusia yang sebenarnya adalah “bagian” dari Allah yang terpisah. Dengan rindu tak ada lagi perbuatan sia-sia, dengan cinta hidup jadi lebih bermakna.

 

Referensi

Rumi, M. J. (2021). Matsnawi Maknawi Maulana Rumi (Kitab 1, Bait 1-2011). Yogyakarta: Diva Press.

Bagir, H. (2019). Dari Allah Menuju Allah, Belajar Tasawuf dari Rumi. Bandung: Noura Books.

Rusliyanto, A. (2024). Mencintai Seperti Rumi. Yogyakarta: Penerbit Forum.

 

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru