26.8 C
Yogyakarta
Monday, June 2, 2025
spot_img

Kembali ke Alam, Kembali ke Kaum Terpinggirkan: Refleksi Ajaran Paus Fransiskus

“A little compassion makes the world less cold and more just”

—Paus Fransiskus

Kepergian Paus Fransiskus pada Senin, 21 April lalu menyebabkan kesedihan mendalam, tak hanya bagi umat Katolik sedunia, namun juga seluruh umat manusia.  Beliau meninggal pada pukul 07:35 WIB dengan agak tiba-tiba dan cepat, tepat sehari setelah Sri Paus menghadiri misa paskah terakhirnya.

Berdasarkan sertifikat yang dirilis Vatikan, Paus Fransiskus terkena stroke dan serangan jantung yang menyebabkannya sempat mengalami koma sebelum meninggal. Beliau kemudian dimakamkan pada tanggal 26 April di lapangan Santo Petrus, dengan dihadiri oleh banyak orang termasuk tokoh dan pemimpin dari berbagai negara.

Selama hidupnya, Paus Fransiskus senantiasa mengajarkan dan menyebarkan pesan-pesan cinta kasih dan kemanusiaan. Tak hanya umat katolik, pesan dan ajaran tersebut juga tersampaikan kepada seluruh umat manusia, terkhusus bagi kaum yang selama ini terpinggirkan dan termarjinalkan. Beliau berhasil mendobrak batas-batas agama, budaya, dan sosial untuk menyebarkan kedamaian ke seluruh dunia.

Riwayat Hidup dan Perjuangan Cinta Kasih Paus Fransiskus

Jorge Mario Bergoglio-begitu nama aslinya-lahir di Flores, Buenor Aires, Argentina pada 17 Desember 1936. Hatinya terpanggil untuk menjadi imam serikat Jesuit pada 21 September 1953. Pada masa-masa tersebut, Bergoglio muda sempat mengidap pneumonia dan kista yang menyebabkan sebagian dari paru-parunya terpaksa dipotong. Pada 11 Maret 1958 ia akhirnya masuk novisiat Jesuit dan pada tahun 1960 mengucapkan kaul pertamanya tentang kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. 9 tahun setalahnya Bergoglio ditahbis sebagai imam dari tangan MGR. Ramon Jose Castellano dan melanjutkan tugas perutusannya sebagai Magister Novis dan Wakli Rektor  Seminari San Miguel di kota kelahirannya, Buinos Aires.

Ia juga pernah menjadi rektor dan dosen teologi di Colegio Maximo dari tahun 1979 hinggga 1985 sebelum akhirnya ditahbis sebagai uskup pembantu Keuskupan Agung Buenos Aires pada  Mei 1992. 6 Tahun setelah berkiprah sebagai pembantu keuskupan, ia pun ditunjuk menjadi Uskup Agung Buenos Aires, tepatnya pada 28 Februari 1998.

Di masa pengutusannya sebagai Uskup Agung, Uskup Bergoglio datang ke pemukiman-pemukiman kumuh secara rutin untuk menemui kaum miskin dan terpinggirkan. Ia juga memberikan semangat kepada para imam yang diutus membersamai kaum tersebut.

Pada 21 Februari tahun 2001 Uskup Bergoglio diangkat menjadi Kardinal dan diberi gelar San Roberto Bellarmino oleh Paus Yohanes Paulus II. Kemudian pada 13 Maret 2013, setelah Paus Benediktus XVI yang sudah berusia tua mengundurkan diri, Kardinal Bergoglio terpilih menjadi Paus dan memilih nama Fransiskus sebagai nama pontifikalnya.

Ia memilih nama itu sebagai bentuk penghormatan terhadap Santo Fransiskus dari Assisi. Santo Fransiskus sendiri adalah pendiri ordo Fransiskan yang mengabdikan dirinya untuk melayani orang-orang miskin dan lemah.

Di hari pengangkatannya, Paus Fransiskus dengan teguh memperlihatkan sikapnya. Ia meminta agar umat katolik argentina tak perlu merayakan pengangkatannya dengan datang ke Roma. Ia menganjurkan kepada mereka agar uang perjalan ke kota tersebut sebaiknya disumbangkan kepada orang-orang miskin dan terpinggirkan. Sikap keberpihakannya ini sesuai dengan kaul pertamanya dan senantiasa beliau pegang hingga akhir hayat.

Menyebarkan Cinta Kasih kepada Manusia dan Alam Semesta

Paus Fransiskus menjadi sosok yang banyak melakukan reformasi di Gereja Katolik. Ia mengubah pemahaman-pemahaman yang sebelumnya konservatif menjadi lebih terbuka, terutama dalam menyebarkan pesan-pesan keadilan dan kemanusiaan. Sekalipun beberapa ide yang ia tawarkan mendapat respon negatif, terkhusus dari para pendahulu,  sosok Sri Paus tetap mendapat tempat di hati mereka. Sebab, apa yang ia sampaikan tak hanya berhenti di perkataan, namun termanifestasi dalam tiap tindak lakunya.

Dalam sebuah siniar kanal YouTube Najwa Shihab, Kardinal Ignatius Suharyo, menceritakan pengalamannya selama mengabdi bersama Sri Paus. Dalam setiap pertemuan resmi di Gereja, para Kardinal biasanya akan menyalami Paus yang duduk di tengah ruang pertemuan. Namun, Paus Fransiskus dengan rendah hati mengubah tradisi tersebut. Ia berdiri di depan pintu sembari menunggu kehadiran para kardinal dan menjabat tangan mereka satu persatu.

Saat kunjungannya ke Indonesia, publik terpukau dengan Sri Paus, karena beliau hanya menggunakan kendaraan atau mobil (Toyota Zenix) sipil dalam melakukan lawatan dan kunjungan. Kehadirannya ke Indonesia pun dilalui dengan menggunakan pesawat komersial, bukan jet pribadi. Selain itu, alih-alih menginap di hotel bintang lima, Sri Paus lebih memilih untuk tinggal di Kedutaan Besar vatikan. Apa yang dilakukan oleh Sri Paus menunjukkan bagaimana ajaran cinta kasih ingin beliau sampaikan dengan balutan kesederhanaan.

Pesan-pesan kemanusiaan ia sebarkan dengan berbagai aksi-aksi simbolik. Sebagai bentuk keteguhan sikap dan keberpihakannya kepada kaum miskin dan terpinggirkan, acapkali Sri Paus mendatangi pemukiman kumuh, narapidana, migran, korban-korban perang dan lalu mencium kaki mereka. Secara tersirat ia ingin mengatakan bahwa pelayanan gereja sepenuhnya ada untuk mereka yang lemah.

Paus Fransiskus juga tak segan-segan menentang sikap para tokoh dan pemimpin yang mencoreng nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. Pada tahun 2016, saat debat presiden di Amerika Serikat , Donald Trump mengungkapkan pernyataan kontroversial. Ia menyebut bahwa akan membangun tembok perbatasan antara Amerika dan Meksiko. Sri Paus menanggapi pernyataan rasial tersebut dengan mengatakan, “Seseorang yang hanya berpikir tentang membangun tembok, di mana pun itu, dan tidak membangun jembatan, bukanlah seorang Kristen. Itu tak ada dalam ajaran Injil.”

Membangun jembatan adalah misi sang Paus. Ia hendak menghubungkan apa-apa yang selama ini dipisahkan oleh jurang perbedaan ras, agama, kepercayaan, dan golongan.  Pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Paus Fransiskus dan Grand Syekh Al-Azhar, Syekh Ahmad Al-Tayeb, menandatangani dokumen bersejarah yang dikenal sebagai Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Berdampingan (Human Fraternity). Penandatanganan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah hubungan antara Islam dan Katolik, serta dialog antaragama secara global.

Melalui ide, gagasan, dan aksi-aksinya, Paus Fransiskus mampu menyebarkan pesan-pesan cinta kasih, kemanusiaan dan perdamaian global serta menghapus sekat-sekat perbedaan yang semakin memperdalam jurang penderitaan umat manusia dunia.

Tak hanya ajakan mencintai sesama manusia, Paus juga mengajak seluruh umat manusia untuk melakukan pertobatan ekologis. Ini ia sampaikan pada ensiklik-nya yang monumental berjudul Laodato Si’ (Terpujilah Engkau). Dalam dokumen itu, ia mengutip perkataan Santo Fransiskus dari Assisi bahwa alam adalah ibu yang menerima kita dengan tangan terbuka. Sri Paus lalu mengatakan bahwa Alam telah menjerit karena kerusakan-kerusakan yang diperbuat oleh manusia, anak kadungnya sendiri.

Paus Fransiskus menyeru seluruh umat manusia untuk bersatu memedulikan rumah yang hari ini sedang rusak oleh para penghuninya sendiri. Untuk itu, segala tindakan-tindakan serakah yang menyebabkan krisis ekologi harus dialihkan kepada praktik-praktik yang dapat mengembalikan keseimbangan kehidupan alam.

Tentunya ini dapat ditempuh hanya dengan sinergitas seluruh umat manusia untuk berinovasi dan saling mencari solusi dalam mengatasi krisis ekologi yang kian hari kian bertambah parah. Paus Fransiskus mengatakan “Rumah kita bersama dijarah, dihancurkan, dan dirusak tanpa hukuman. Kepengecutan dalam mempertahankannya adalah dosa besar.”

Apa yang diperjuangan oleh Paus Fransiskus selama masa hidupnya merupakan suatu keteladanan yang harus senantiasa diikuti dan dilanjutkan oleh siapapun. Melalui kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesetiaannya pada cinta kasih terhadap manusia dan alam, beliau mengajak kita untuk kembali berefleksi, bahwa manusia tidak hidup untuk dirinya sendiri.

Keberaniannya mengubah pandangan-pandangan tradisional di Gereja—yang bahkan mampu memengaruhi institusi keagamaan lainnya—ingin mengingatkan kita bahwa agama seharusnya hadir dan menyebarkan cinta kepada seluruh ciptaan Tuhan. Agama ada untuk menyeka air mata dari tangisan alam dan tangisan orang-orang lemah.

Abil Arqam Lubis
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru