Menjelang naiknya matahari dari arah timur pukul 09:33, kita bertemu dengan salah seorang yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yakni Chumaidi Syarif Romas. Penantian kami selama beberapa hari untuk bertemu dengan pria yang sering disapa Bang Hum itu akhirnya terjadi pada hari Sabtu, 20 Mei 2023.
Sautan kecil dari dalam rumah menyapa kami sembari membukakan pintu yang sebelumnya kami ketuk. Ia muncul dengan sunggingan senyum khasnya sambil duduk di antara jejeran kursi yang melingkar dan sebuah meja kecil.
Setelah itu, kami dipersilahkan duduk di depan rumahnya yang berwarna jingga. Sembari tersenyum tipis dengan kerutan wajah—tanda kematangan usianya—ia menyapa kami. Kami kemudian mempertanyakan kesehatannya yang lalu dijawab dengan nada lembut, “Alhamdulillah sehat”.
Pria kelahiran Tegal tersebut terlihat seperti seorang bapak-bapak sarungan yang biasa kita jumpai di pedesaan. Pria yang sudah tidak muda lagi itu merupakan seorang Islamis yang nyentrik. Memang sejak kecil Bang Hum hidup di lingkungan ormas NU yang kental. Ketika bersekolah di SMA di Ahmadiyah Pini, Bang Hum sudah mulai menyemai pikiran yang lebih rasional dalam beragama. Mulai saat itu, cara pandang dan berpikirnya mulai berubah. Tapi secara kultural Bang Hum masihlah melakoni adat spriritual NU seperti Tahlilan, Slametan, dan lain-lain.
Bang Hum menyadari bahwa setiap orang itu harus mempunyai prinsip dan idealisme yang kuat dalam hidupnya. Bang Hum menyatakan bahwa mengenal agama sebagai sebuah jalan hidup yang stabil, bukan hanya sekadar eksitensi dalam publik. Bang Hum juga menjelaskan bahwa HMI itu memiliki penafsiran dan interpretasi keislaman yang subjektif bagi setiap orang.
Percakapan kami dimulai dengan cerita dari Bang Hum mengenai banyak undangan yang masuk kepadanya. “Kemarin itu saya di undang. Jadi buat nentuin hari agar ketemu itu susah,” ujarnya. Hal itu sudah wajar karena rekam jejak beliau sebagai mantan Ketua Umum PB HMI tahun 1976-1978, pastinya membuat nama Bang Hum tidak asing lagi di kalangan anggota KAHMI, HMI, atau lembaga-lembaga lain yang berkaitan dengan HMI.
Sebelum menjadi ketua PB HMI, Bang Hum pernah menjadi pengurus penggerak masa 1964 di HMI Komisariat Ushuluddin. Ia menuntun arah para mahasiswa yang ingin berhimpun di HMI. “Dulu saya yang menggerakkan mereka Mas. Ada beberapa tim disitu yang ditugaskan untuk masuk ke ruang-ruang kelas,” sebutnya.
Setelah berproses di komisariat, Bang Hum selanjutnya beranjak ke Koordinator Komisariat (Korkom) sebagai wakil ketua, sedangkan ketuanya pada saat itu ialah Kanda Hamid Ibrahim. Sejak saat itu, karir kepengurusan Bang Hum mulai naik. Dari korkom selama setengah periode, Bang Hum diminta untuk naik ke kepengurusan HMI Cabang Yogyakarta sebagai pengurus Bidang Departemen Kader.
Selanjutnya, ia kemudian menjadi staf ketua berjalan selama setengah periode. “Karena dulu sering ada reshuffle, jadi saya cuma di tengah jalan terus pergantiannya,” ucapnya. Lalu pada tahun 1970, Bang Hum didaulat menjadi Ketua Umum Cabang Yogyakarta kala itu melalui beberapa konvensi, salah satunya adalah Universitas Gajah Mada.
Dalam kepengurusan HMI Cabang Yogyakarta, ia hanya memimpin selama kurang lebih 20 bulan “Saya mempercepat periode jadi 10 bulan saja,” ungkapnya. Pengundurannya tersebut disepakati oleh komisariat dan disetujui konferensi dengan persyaratan-persyaratan tertentu. “Ketua lama menjadi pemimpin materi saat kongres,” terusnya.
Pada 1976 karirnya berlanjut hingga duduk pada kursi kepemimpinan Pengurus Besar HMI sebagai ketua umum hingga pada 1978.
Pada 2014 Bang Hum didaulat sebagai Komisioner ASDP (Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan), perusahaan negara di bawah BUMN. Mantan Wakil Dekan 1 UIN sunan Kalijaga ini, mengaku tidak menyangka akan mendapat kepercayaan tersebut. Meski demikian, karena tugas sebagai komisioner ASDP adalah amanah, maka ia berusaha menjalankannya sebaik mungkin.
***
Pada tahun 1970 antara Pengurus Cabang dan Pengurus Besar HMI sedang mengalami konflik, karena Nurcholis Madjid pada tahun 1969 itu terpilih kembali dan menjabat pada periode kedua dalam kepemimpinannya. Lima kader HMI Cabang Yogyakarta ketika itu sedang membutuhkan pemimpin di IAIN. “ Wahid, Juan Efendi, Abdul Hamid (Makassar), Dzulkifli (Kalimantan), lalu adiknya Wahid Makhlad namanya,” ungkap Bang Hum. Bang Hum mengatakan bahwa ada 3 kader dari Cabang Yogyakarta yang menjadi pengurus kala itu, dan mereka di-reshuffle semua. “Itu menjadi aib bagi Cabang Jogja,” ungkapnya.
Pada tahun 1971 silam, bertepatan pada kongres Palembang, adalah momen yang paling di ingat Bang Hum kala memimpin para delegasi dari Jogja. “Sebelum kongres kita berdiskusi rutin, apa yang beda apa yang sama kita tulis semua di buku,” ujarnya. Menjelang kongres, banyak sekali topik dan isu sensitif kala itu. Seperti pembuahan AD/ART, pengesahan Nilai Dasar Perjuangan (NDP), dan perubahan asas HMI.
Bang Hum menjelaskan, dialektika diskusi harian Cabang Jogja dan berbagai macam bentuk perbedaan argumen saat itu dimuat dalam satu buku yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam kongres di Palembang. “Disitu saya tidak berpikiran untuk berbisnis atau apapun itu, tapi begitu dibawa laku keras,” ucapnya tertawa. Secara tidak langsung, buku yang hanya sebatas bahan pedoman di kongres itu menjadi rezeki tambahan bagi Bang Hum dan teman-teman. “Tujuan pembukuan itu hanya sebatas untuk syiar dan bakti ke bangsa, tapi lumayan untuk ongkos pulang,” ungkapnya terkekeh.
Bang Hum mengaku sebelum datang ke kongres 13, delegasi Cabang Jogja melakukan perjanjian. “Kita di sana jangan sampai menjabat sebagai apapun,” kata Bang Hum. Kesepakatan itu disepakati bersama sebagai langkah awal dalam membawa misi ke kongres di Palembang itu. “Kongres sebagai the market of ideas,” tuturnya.
Lelaki yang agak gemuk dengan rambut sudah memutih itu kemudian menuturkan bahwa dia didaulat sebagai pemimpin sidang pada kongres saat itu. Jiwa kepemimpinan yang dimilikinya membuat dia diberi kepercayaan sebagai pimpinan sidang, meskipun sedikit ada penolakan dari Bang Hum dengan beberapa pertimbangan yang akan dikonsultasikannya ke PB HMI.
Kelompok Masyumi yang menentang disahkannya NDP, menjadi salah satu problematika yang muncul saat itu. Dengan persiapan yang matang, sebelumnya permasalahan kongres dan segala bentuk penyerangan dari ide-ide yang dibawa HMI Jogja dapat teratasi dengan lancar.
Bang Hum mengaku itu merupakan salah satu kejadian yang membuatnya bisa menjadi seperti sekarang ini. Yakni jiwa pemimpin yang idealis dan selalu memberikan perubahan pada setiap permasalahan.
Bang Hum, dengan gagahnya, selalu mengemukakan tentang kepemimpinan yang ideal di setiap acara yang ia hadiri, seperti seminar, diskusi, dan lainnya. Salah satunya, ketika ia menjadi keynote speech pada acara pelantikan pengurus yang diadakan HMI Komisariat Fakultas Ushuluddin pada Oktober 2022 lalu. “HMI tidak pernah mempolitikkan agama, HMI lahir untuk memahami perjalanan bangsa ini,” ungkapnya. Penulis buku Wacana Teologi Kontemporer ini selalu membicarakan tentang kader HMI yang seharusnya memiliki 3 dasar nilai kehidupan; idealisme, ideologi, dan anti pragmatisme.
Seorang akademisi idealis ini memang sering membicarakan para kader HMI Cabang Jogja terdahulu yang selalu berani memperjuangkan cita-citanya tanpa takut kalah. “Teman terbaik adalah musuh kita,” tambahnya. Seolah menggambarkan bagaimana dinamika yang pasti akan dilalui oleh setiap kader selama berproses di HMI . Mereka harus sadar bahwa di balik musuh yang besar akan ada banyak pelajaran yang bisa dipetik.