25.4 C
Yogyakarta
Monday, December 23, 2024
spot_img

Ada Apa Setelah Beragama?

Gallup Intenational Association (GIA) merilis data terbaru (4/12/23) terkait masyarakat beragama. Data tersebut menunjukkan bahwa dua pertiga dari responden mengaku bahwa mereka adalah masyarakat beragama. Sebaliknya, masyarakat tidak mendefinisikan dirinya sebagai individu religius lebih sedikit, yakni 1 banding 4.  Ateis berada di angka 10% dari jumlah responden.  Jumlah ini disedot dari 61 negara berbeda di setiap penjuru dunia.

Data ini tidak jauh berbeda seperti survei yang dilakukan pada 2016 lalu. World Population Review (2023) melansir 85% penduduk bumi menyatakan diri sebagai manusia beragama. Kristen menjadi agama terlaris dengan penganut  2,38 miliar orang. Islam mengikuti di urutan kedua dengan 1,91 miliar orang. Kemudian diikuti oleh Hindu di urutan ketiga, Buddha di urutan keempat dan kepercayaan lokal di urutan kelima.

Kawasan Asia yang dikenal sebagai tempat kelahiran sebagian besar agama-agama dunia menjadi daerah yang subur bagi masyarakat beragama. Find Easy memberitakan bahwa Muslim menjadi populasi terbesar di Asia, selanjutnya disusul oleh Hindu, Buddha, Folk Religion/Agama Lokal dan Kristen.

Indonesia dalam hal penduduk beragama, khususnya Islam, menurut laporan Databoks, dengan basis sumber The Royal Islamic Strategic Studies Center (RISSC) berada dalam urutan pertama negara berpopulasi muslim terbesar (231,06 juta jiwa), disusul oleh Pakistan (212,3 juta jiwa), India (202,2 juta jiwa), Bangladesh (153,68 juta jiwa) dan Nigeria (107 juta jiwa) di urutan kelima. 

Satu dekade ini populasi masyarakat beridentitas religius cenderung stabil. Kendati demikian, perjalanan agama tidak selalu mulus, eksistensinya kerap teruji oleh tuduhan-tuduhan yang mendiskreditkan. Jika merujuk kepada tuduhan Karl Marx, agama berperan memberikan suasana kebahagian semu atau yang ia sebut sebagai ilusi.

Melalui standing position doktrinasi agama, manusia merasa terpuaskan dalam kehidupan yang tidak berkecukupan. Semua fenomena keterbelakangan tersebut diinterpretasikan kodrat yang telah ditentukan oleh kekuatan adimanusiawi. Ludwig Feuerbach menyerang dengan argumen inti bahwa manusia beragama adalah  manusia yang terlepas dari kesadarannya dan berjalan dalam lingkaran setan keterasingan. Agama bisa laris dan digandrung menurutnya hanya karena manusia membutuhkan kerja sama dan komunitas. 

Sedikit serupa, A. Einstein menuturkan kecenderungan manusia memiliki ketakutan-ketakutan bawaan terhadap bahaya yang merangsang timbulnya Survival Instinct sehingga dikemudian hari muncul kekuatan yang dikenal dengan tuhan sebagai penangkal ketakutan dan manajerial kebahagiaan. Melalui kecenderungan tersebut, manusia mudah dimobilisasi melalui media dakwah maupun proyeksi parenting untuk memercayai agama. Prejudice-prejudice ini terserap berdasarkan kesaksian terhadap fenomena sosial sekitar mereka. Jika lembaga penyadaran disandarkan kepada pendidikan, maka ada hal menarik ketika RISSC juga melaporkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, pengakuan sebagai penyandang masyarakat religius semakin berkurang. 

Sebelum melanjutkan, jahitan bacaan dan tulisan ini bukan untuk mengafirmasi posisi agama seperti yang digambarkan tokoh-tokoh tersebut. Saya mencoba untuk melepaskan diri dari argumen-argumen teologis untuk membentengi agama dari manuver-manuver pikiran radikal-liberal yang bertebaran seperti di atas –tidak seperti isi ceramah di mimbar-mimbar dan pengajian-pengajian. Karena tulisan ini termuat dalam platform Islam yakni, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya akan mengaitkannya dalam beberapa poin penting.

“utrum veriates sit fortior inter vinum et regem et milierem,”. Manakah yang lebih kuat, meyakinkan dan membatasi: otoritas raja, pengaruh anggur, keindahan wanita, atau power kebenaran?, sebut Santo Thomas dalam Quastio quodlibet alis XII. Aquinas menjawab kebenaranlah yang lebih kuat dari apa pun dan itu lebih dari cukup mampu menggerakkan kecerdasan spekulatif manusia. Kebenaran ini berbeda menurut berbagai tradisi pemikiran yang ada, sehingga tidak heran banyak bermunculan klaim, stigma maupun monopoli. Pemikiran-pemikiran yang disebut di atas tidak lain adalah pemikiran kebenaran yang belum tentu benar sebagai titik pijak. Narasi-narasi yang dikembangkan masih mungkin diperdebatkan dan esensi benar dalam tatanan global masih misterius. Ada yang berpandangan Tuhan sebagai kebenaran tunggal, ada ekonomi, ada partikel kecil dan sebagainya sampai saat ini masih belum beranjak final dari meja perdebatan.

 Umberto Eco-lah yang menulis kutipan di atas untuk memperkuat kenyataan manusia bergerak berdasarkan kebenaran yang ia yakini. Oleh karena itu, masyarakat beragama mempercayai Tuhan sebagai entitas terpercaya melandaskan segala gerak-geriknya terhadap ketentuan Tuhan. Dalam satu kesempatan, Fahri Hamzah dalam kapasitasnya sebagai Intelektual Muslim menyatakan bahwa agama sangat kuat pengaruhnya dalam siklus kehidupan manusia. Oleh karena itu, walaupun berjibun background pengetahuan, identitas dan selayang pandang yang dimiliki manusia, agama cenderung menjadi pihak yang tertuduh sebagai akar rumput permasalahan stagnasi peradaban manusia. 

Merespon data pada pembuka tulisan, merefleksikan tuduhan-tuduhan di atas, sadar realitas status quo sebagai masyarakat akademik serta  membudayakan fleksibilitas dan keterbukaan pikiran, lalu apa yang akan kita dapatkan setelah (ketika) memutuskan beragama?.

Sekali lagi, ini bukan narasi khotbah, ceramah atau pengajian karena genre penuturan seperti demikian cukup mudah ditemukan setiap saat. Baiklah, mari kita mulai tawar-menawar pikiran terkait cost and benefit beragama.

Mental Health

Terdapat hal menarik dari rangkaian data yang dirilis oleh GIA. Negara-negara maju cenderung mendefinisikan diri kurang religius. Sementara negara-negara berkembang Non-Super Power dalam bidang pendidikan, ekonomi maupun militer penyumbang terbesar populasi masyarakat religius. 

Sebut saja Amerika, teridentifikasi kurang menjadi negara religius, jauh dibandingkan Kenya, Senegal dan Pakistan. Di balik pamor negara adidaya tersimpan fakta bahwa rakyatnya cemas terhadap Kesehatan mentalnya. Berita demikian disampaikan oleh W. Brendel ,  MD, JD, selaku Presiden APA (American Psychiatric Association) 2021.  Lebih lanjut, fenomena demikian bukan karena alasan pengaruh agama yang dianut melainkan banyak faktor yang di antaranya adalah ketidakpastian ekonomi dan kontaminasi kesehatan tubuh. 

Megan Carnagie memuat tulisannya di BBC tertanggal 17 Februari 2023 berjudul “Are Gen Z The Most Stressed Generation In The Worlplace?”. Cigna International Health tahun 2023 mendapatkan data bahwa 91% penduduk berusia 18-24 tahun mengidap stres. Analisis datanya menghasilkan Gen Z merupakan kelompok paling stres dan berjuang mati-matian untuk terlepas dari rasa kecemasan tersebut. Banyak faktor yang melatarbelakangi timbulnya rasa stres di samping karena masa krisis Covid-19. Ketidakpastian ekonomi, PHK besar-besaran dan perubahan gaya kerja merupakan sedikit dari banyak hal yang membuat pekerja merasa stress. Bahkan, krisis biaya hidup menurut Workhuman mengakibatkan 84% pekerja Inggris terjangkit serangan mental stress dan cemas. 

Melalui starting point dari data di atas, saya ingin berbicara bahwa negara dengan pamor kemajuan namun krisis kesehatan mental merupakan imbas dari keringnya interaksi batin dengan kekuatan-kekuatan adi manusiawi atau boleh kita sebut sebagai Ultimate reality.

Romo Magnis mengonfirmasi relasi intim makhluk dengan penciptanya sesuai dengan penghayatannya kepada tuhan yang ia percayai. Perilaku ini mengisi ruang-ruang kosong pada batin dan berdampak terhadap cara pandang terhadap alam dan sekitarnya. Interaksi batiniah inilah yang kurang dimiliki masyarakat yang kurang mendefinisikan diri sebagai masyarakat beragama sehingga potensi turbulensi mental mudah menghampiri. Melihat realitas tersebut, maka kiranya tidak ada yang salah terhadap agama yang di justifikasi sebagai produsen ilusi kebahagiaan karena dengan wacana demikian masyarakat lebih mampu merasakan ketenangan daripada tidak beragama.

Momentum keagamaan  merupakan Weltanschauung dalam bahasa Jerman, atau cara memandang sesuatu dalam hal ini dunia dan Tuhan sebagai bagian dari aktivitas kehidupan. Stres, kecemasan dan ketidakmenentuan lainnya yang menghampiri merupakan kuasa atau skenario tuhan untuk berbincang-bincang dengan spesies tidak berkecukupan. Seperti kata Einstein, manusia membutuhkan kekuatan super di luar sana untuk menjamin, menjaga, menenangkan kekurangan yang ada pada individu manusia. Oleh karena itu, manusia akan merasa aman ketika ada kekuatan supranatural yang ambil bagian dalam kehidupannya. 

Human Control

Secara fisiologi, porsi tubuh macan singa dan hewan ganas lainnya lebih memungkinkan mengalahkan manusia jika segenap software yang dimiliki manusia juga dimiliki oleh hewan-hewan tersebut. Singa akan mudah menumbangkan manusia karena memiliki pikiran yang dapat dikembangkan untuk membabat habis manusia, bahkan lebih mungkin manusia telah lama punah jika revolusi kognitif yang diwartakan Youval dimiliki kiran, tidak menutup kemungkinan manusia akan punah jauh-jauh hari karena akan saling membunuh, itulah naluri hewani. Homo Homini lupus kata sederhana T. Hobbes untuk menggambarkan naluri manusia untuk mempertahankan hidupnya. Itulah gambaran manusia jika tidak terkontaminasi moral yang mengikat. Bahkan kebutuhan yang mendesak mebuat moral universal membusuk karena didobrak nafsu hewani manusia.  

Apa hubungan Moral dengan Agama? Dalam masyarakat beragama moral dikonstruksi dengan bahan inti norma agama yang dipercayai. Selanjutnya moral memiliki bahan norma sopan santun/adat istiadat setempat untuk membangun tatanan moral yang berlaku menurut S. Mertokusumo. Perbedaan agama dan hal mendasar lainnya dalam satu rumpun teritorial menganulir gagasan moral universal. Kendati spirit desentralisasi haru selalu dipertahankan dengan konsepsi agama sebagai bahan intinya. Kenapa demikian, karena dibalik tatanan moral harus  kekuatan yang akan menghujan jika tatanan moral dilanggar. Oleh karena itu, agama  tuhan  daya -persuasif untuk  sistem moral.

Civilitation and Religion  

Agama sering kali dituduh mereduksi kemampuan penganutnya untuk menjadi masyarakat produktif berkemajuan. Tuduhan ini cukup sering menyerang kaum muslimin karena realitas hidupnya yang jauh tertinggal dari negara maju yang telah disebutkan pada data di atas.

Tuduhan ini tidak penting jika hanya untuk melumpuhkan semangat masyarakat Muslim. Kemajuan seharusnya ditafsirkan berbeda-beda satu bangsa dengan yang lainnya karena kebutuhan hidup dan karakter adat istiadat yang berbeda antara negara, bangsa dan suku dengan yang lainnya. Kemunduran yang dituduhkan kepada masyarakat muslim hanya karena melihat dari sudut pandang negara yang menafsiri kemajuannya dengan produksi teknologi yang melimpah. Sementara itu karakter dan penghayatan kehidupan masyarakat muslim berbeda dengan yang diterapkan masyarakat barat yang pragmatis.

Semasa Dinasti Abbasiyah, banyak sekali ilmuan muslim yang muncul. Penemuannya yang membuahkan hasil memudahkan kehidupan masyarakat diproduksi dengan masif, seperti contoh ilmu optik yang ditemukan oleh Al-Haytham. Selain itu Ibnu Sina Ibnu Sina yang karyanya sampai saat ini menjadi rujukan di universitas-universitas kedokteran dunia mengembangkan jauh lebih elaboratif karena ilmu kedokteran memiliki nilai untuk mengatasi permasalahan kesehatan manusia.

Sementara ilmu atau teknologi yang kita analisis dalam diskusi di kampus, ilmuan muslim yang sebenarnya mampu untuk memproduksi teknologi super canggih lainnya mengurungkan niat karena akan berdampak buruk terhadap moral dan keberlangsungan hidup manusia. Contohnya senjata pembunuh massal yang sebenarnya dapat dirancang oleh Jabir Ibnu Hayyan yang telah lebih dulu menemukan molekul atom. Namun pertanyaannya adalah apakah kemajuan peradaban itu diiringi dengan melanggengkan nafsu hewani seperti saling memperkaya teknologi pembunuh masal tersebut?. Lagi-lagi ini adalah tafsiran yang berbeda beda mengenai kemajuan peradaban suatu negara.

Agama memiliki andil mengontrol peradaban dan menahan peradaban untuk tidak terjatuh ke dalam jurang kebinasaan dan ke-tidak bermakna-an. Agama menawarkan konsep hidup keseimbangan. Perlu dalam kehidupan manusia menghormati antar individu, alam, dan entitas lainnya di dalam maupun luar dirinya. Sehingga dengan keseimbangan demikian, proyeksi kehidupan lebih terukur dan bermakna. Apa pun itu, agama jika disingkirkan dalam sirkulasi kehidupan manusia akan berdampak terhadap ketidakstabilan. Islam dalam hal ini memiliki konsep yang terukur yang dapat dipetik ketika menghayati setiap momen keagamaan dan ajaran substansinya.

HMI sebagai gerakan organisasi pemuda muslim hadir untuk menciptakan keseimbangan ini. Konsep ini terlihat dari latar belakang berdirinya dengan misi mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan meninggikan derajat masyarakat yang terinjak-injak oleh nafsu menguasai kolonialisme. Dalam bab-bab NDP pun bagaimana HMI berjuang keras untuk menarasikan keseimbangan dengan spirit penemuan jati diri kader. Standing position sebagai mahasiswa beragama bukan hanya sebagai warisan genetik tetapi kesadaran terhadap konsep agama yang berharga bagi umat manusia menjadikan identitas kader HMI dipertahankan.

Sebagai penutup, perjudian Blaise Pascal terasa ‘menggelitik’ dan menarik untuk diangkat. Ia melepaskan taruhan “jika tuhan benar ada dan aku percaya maka aku akan beruntung (masuk surga dan kebahagiaan lainnya). Mari berdiskusi!.

Tulisan ini pernah tayang di buleti Ushuliyyah edisi 29 dalam rubrik Fokus Utama.

Reinaldi Zahronizar
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru