Menjelang tahun ajaran baru, berbagai perguruan tinggi di Indonesia memiliki caranya sendiri untuk mempromosikan kampusnya kepada calon mahasiswa. Akhir-akhir ini, dengan padatnya aktivitas media sosial, seperti Instagram, YouTube, TikTok dan lain sebagainya, banyak perguruan tinggi yang memproduksi konten di media sosial dengan memanfaatkan algoritma yang berlaku di berbagai platform tersebut. Algoritma ini seakan membuat mereka didikte agar mendapat jumlah tayangan yang tinggi dan masuk di FYP (for your page). Perguruan tinggi hari ini pada akhirnya hanya menjadi semacam komoditas dagang semata. Seolah-olah, masuk perguruan tinggi semudah dan semenarik belanja online dengan mengklik keranjang kuning.
Beberapa akun resmi dari berbagai perguruan tinggi saling mengadu konten medsos dengan tema flexing kemewahan fasilitas kampus masing-masing. Alih-alih mengampanyekan informasi mengenai penerimaan mahasiswa baru, mereka malah saling mengadu eksistensi kampusnya. Lebih tepatnya, mereka hanya berusaha menjiplak algoritma yang ada pada platform media sosial tersebut. Seolah-olah algoritma yang ada merupakan acuan dalam memproduksi konten.
Tahun ajaran baru menjadi periode yang sangat krusial bagi siswa-siswi yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Ada beberapa tahap yang harus dilewati, seperti pendaftaran, asassement kelulusan , dan yang terpenting ialah memilih perguruan tinggi mana yang cocok baginya untuk melanjutkan pendidikan. Di samping itu, pihak perguruan tinggi juga tak luput dalam upaya pengenalan dan sosialisasi kampusnya kepada para siswa-siswi akhir.
Dulu, PTN dan PTS memiliki program memperkenalkan kampus dengan mengutus beberapa mahasiswa, ke sekolah-sekolah tertentu. Hal ini bertujuan untuk mensosialisasikan keunggulan dari kampus tersebut. Mereka akan memberikan informasi seputar kampus dan dunia kemahasiswaan.
Namun di zaman sekarang cara-cara seperti itu sudah terbilang tidak efektif lagi. Berkembangnya media digital, secara spontan turut mengubah alur pengenalan perguruan tinggi dalam mem-branding kampusnya masing-masing. Adanya berbagai platfrom media sosial tentunya sangat mempermudah upaya sosialisasi dan memperkenalkan kampus. Calon mahasiswa sendiri tidak harus susah-susah lagi mendatangi kampus, dan informasi yang didapatkan akan jauh lebih luas.
Salah satu bentuk pengenalan dan sosialisasi di media digital paling marak hari ini ialah membuat video-video perkenalan tentang kampus. Hal ini tentunya dilakukan sebagai cara untuk meraup atensi siswa-siswi yang hari ini waktunya lebih banyak dihabiskan untuk berselancar di dunia maya.
Namun, ironinya, kebanyakan video-video yang dibuat tersebut bukanlah memperlihatkan subtansi dan realita dunia kampus dan kemahasiswaan. Konten-konten yang dibuat cenderung memperlihatkan gaya hidup mahasiswa di kampus yang serba mewah. Sebagai contoh, video yang dari akun TikTok UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 3 April 2023. Video tersebut memperlihatkan beberapa mahasiswa yang keluar dari lift memakai almamater UIN Sunan Kalijaga dengan aksesoris kaca mata hitam dan kalung.
Juga sama halnya dengan unggahan akun Tik-Tok Duta Kampus UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 13 April 2023. Mereka mengunggah konten ala jedag-jedug dengan beberapa pose yang cenderung menampilkan kemewahan sebagai cara mengikuti tren dengan target mengumpulkan like dan komentar sebanyak-banyaknya. Fenomena seperti ini sangat menarik untuk diperbincangkan.
Konten-konten seperti itu, tidak hanya diproduksi UIN Sunan Kalijaga. Beberapa kampus justru malah lebih parah. Beberapa akun TikTok milik salah satu kampus ternama di Indonesia, mengunggah video masuk kampus dengan mobil mewah, berlagak menampilkan seolah-olah kampus itu hanya tempat orang-orang kaya. Selain itu, yang juga meyentak perhatian, adalah konten para mahasiswa, dengan gaya modis dan necisnya, berjalan bak model yang mendagangkan gaya trendi terbaru. Perilaku seperti ini lebih menggiring opini publik, menjadi mahasiswa yang konsumtif dan lebih mementingkan gaya apa yang akan mereka pakai di kampus.
Fenomena yang terjadi ini merupakan bentuk degradasi nilai-nilai intelektual mahasiswa. Hal ini tentunya dikarenakan nilai-nilai yang ditonjolkan bukanlah bersifat akademis, melainkan hanya mempertontonkan narsisme dan dunia kemahasiswaan yang hedon. Mereka seolah-olah sedang menjual kampus dengan kemewahan dengan tren-tren viral yang beredar di kalangan generasi zilenial hari ini.
Frame narsisme dan hedonisme yang mereka tampilkan melalui unggahan video tersebut, pada dasarnya sangat bertolak belakang dengan realita yang ada di kampus. Terbukti dengan biaya kuliah yang semakin melejit tinggi, menjadi permasalahan utama bagi mahasiswa. Di beberapa kampus, khususnya di Yogyakarta, bahkan telah mengadakan demo sebagai tuntutan penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang setiap tahun, diperkirakan akan terus naik.
Perguruan tinggi yang merupakan strata tertinggi dari dari dunia akademik, sudah seharusnya mempunyai pola sendiri dalam membranding kampusnya masing-masing. Konten-konten yang disajikan sepantasnya menyorot bagaimana sistem belajar di kampus, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, prestasi-prestasi yang telah diraih, dan yang tak kalah penting ialah cara menerima beasiswa.
Jika sosialisi yang dilakukan oleh para konten kreator kampus lebih serius, calon mahasiswa baru akan lebih mudah dalam memilih dan menentukan pilihannya. Dunia perguruan tinggi seharusnya dipupuk dan diisi dengan nilai-nilai akademik yang kental. Sangat disayangkan jika ia kemudian hanya disandingkan dengan pola branding narsistik dan hedonistik seperti yang telah dijelaskan di atas.
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 30 dalam rubrik Editorial.