30.8 C
Yogyakarta
Saturday, June 21, 2025
spot_img

RMP Sosrokartono: Si Jenius dari Timur

Bincang mengenai tokoh pejuang bangsa, barang tentu sudah tak asing lagi dengan nama R.A Kartini. Tokoh yang namanya begitu besar dikenang sebagai pejuang emansipasi wanita. Namun, di balik perjuangannya itu, ternyata ada nama besar yang juga turut mendukung dan menjadi inspirator perjuangan R.A Kartini. Pemuda tangguh yang namanya besar jauh di negeri Eropa, namun diklaim sebagai komunis bangsa. Pemuda yang dijuluki De Javanese Prins, si Jenius dari Timur. Ia adalah Sosrokartono.

Raden Mas Panji Sosrokartono atau lebih dikenal dengan R.M.P. Sosrokartono lahir di Jepara, 10 April 1877. Ia merupakan putra keempat bupati Jepara, R.M Ario Sosrodiningrat dan merupakan kakak kandung R.A Kartini. Sejak kecil Sosrokartono merupakan anak yang cerdas dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Ia menjadi mahasiswa pertama yang melanjutkan studi ke Eropa dan menyelesaikan studinya dengan jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur.

Sejak usia 21 tahun, selama 3 Dasawarsa (30 tahun) Sosrokartono berkelana di Negeri Eropa dan dalam kurun waktu itu pula namanya banyak dikenal di kalangan bangsa Eropa. Selama studinya di Eropa, Sosrokartono mampu menguasai 35 bahasa dan menjadi penerjemah di Wina, Austria yang menjadikan namanya banyak dikenal dan dijuluki si Jenius dari Timur. Ia juga pernah menjadi wartawan perang dunia I. Namun, di balik setiap pencapaiannya, siapa sangka Sosrokartono malah berakhir terlunta-lunta di tanah airnya sendiri. Setelah perjuangannya, Sosrokartono bahkan dicap sebagai komunis di negerinya.

Setelah lulus dari HBS di Semarang, pada tahun 1898, Sosrokartono melanjutkan pendidikannya ke Polytechnische School Te Delt, Belanda dengan harapan ketika lulus nanti mampu menyelesaikan permasalahan krisis air yang melanda Jepara dan meningkatkan tata kelola penggunaan air di wilayah itu. Namun di tengah perjalanannya ia memutuskan untuk pindah haluan karena merasa tidak cocok di sekolah teknik. Karena sejak awal Sosrokartono memang tertarik dengan sastra, ia memutuskan pindah jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden.  Sosrokartono meraih gelar sarjana muda dari universitas Leiden pada tahun 1901 dan meraih gelar doktor di universitas dan jurusan yang sama pada tahun 1908 dengan gelar Doctorandus in de Oostersche Talen. Kemampuan berbahasanya meningkat sangat pesat ketika Sosrokartono menempuh pendidikan di Universitas Leiden. Ia mampu menguasai 24 bahasa asing dan 11 bahasa daerah. Kemudian ia mulai aktif menulis di surat kabar harian. Namanya bahkan tercantum dalam dewan redaksi Bintang Timoer yang terbit juga di Belanda pada tahun 1903 pimpinan Dr. Abdul Rivai.

Pada tahun 1914 ketika perang dunia I pecah, Sosrokartono mendaftarkan dirinya menjadi jurnalis di Eropa untuk surat kabar terbitan Amerika Serikat, The New York Herald Tribune di Wina, Austria. Tes yang dilaluinya adalah tes penerjemahan artikel panjang dengan bahasa Rusia, Prancis dan bahasa Inggris. Untuk memudahkan pergerakannya dalam proses pencarian informasi, Sosrokartono bahkan disusupkan ke dalam pasukan sekutu dan diberi pangkat mayor. Salah satu hasil terbitan Sosrokartono yang sekaligus semakin membesarkan namanya di kalangan bangsa Eropa adalah kesuksesannya meliput perundingan perdamaian rahasia antara Jerman dan Prancis yang dilakukan di hutan Campaigne, Prancis Selatan. Penulis yang tercantum dalam surat kabar itu adalah anonim “Bintang Tiga” yang diketahui sebagai kode dari wartawan R.M.P. Sosrokartono di kalangan wartawan perang dunia I.

Prestasi lainnya yang mampu ia capai adalah keberhasilannya menjadi wartawan pertama di Indonesia yang memotret kawah Gunung Kawi dari udara tanpa menggunakan pesawat. Dalam buku Memoir karya Moh. Hatta disebutkan bahwa Sosrokartono menjadi wartawan dengan gaji yang sangat fantastis dibandingkan dengan wartawan lainnya pada zaman itu. Dituliskan bahwa Sosrokartono memperoleh gaji sebesar USD1250 atau setara dengan Rp.18.700.000,00. Jika dinilai dengan harga mata uang sekarang setara dengan USD  31093 atau setara dengan Rp.466.360.000,00. Sebuah angka yang sangat fantastis di dunia kepenulisan dan jurnalistik.

Setelah perang dunia I berakhir pada November 1918, Sosrokartono memutuskan vakum dari  jurnalistik. Namun di tahun yang sama, ia dipilih sebagai juru bahasa tunggal blok sekutu karena memenuhi syarat-syarat mereka yaitu ahli bahasa, paham bahasa-bahasa di Eropa dan bukan orang Eropa. Setahun setelahnya, tepatnya pada tahun 1919 Sosrokartono menjabat menjadi atase kebudayaan di kedutaan besar Prancis di Den Haag, Belanda. Pada tahun 1920 didirikan Volken Bond atau Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dengan diprakarsai presiden Amerika Serikat ke-28 Woodrow Wilson. Liga Bangsa-Bangsa merupakan organisasi internasional lembaga perdamaian dunia pada perang dunia I dan terdiri dari bangsa-bangsa besar di Eropa. Organisasi ini yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1921. Dalam kestrukturan organisasi LBB ini, Sosrokartono atas kejeniusannya dalam memahami sastra dan bahasa diminta menjadi kepala juru Bahasa di Ganewa, Swiss.

Suatu ketika, seorang anak dari kenalannya yang masih berusia 12 tahun jatuh sakit yang pada saat itu bahkan dokter sekalipun kesulitan untuk mengobatinya. Atas dasar simpati dan kemanusiaan, Sosrokartono datang untuk sekedar menjenguk. Kemudian ia menyentuh dahi anak itu yang ajaibnya setelah tangan beliau menyentuhnya anak itu berangsur-angsur mulai sembuh. Kejadian tersebut membuat orang-orang di sekitarnya, bahkan para dokter yang menangani anak tersebut heran. Kemudian, ada seorang ahli psikiatrik dan hipnosis menjelaskan bahwa RMP Sosrokartono memiliki Pesoonalijke magneetisme yang kuat yang tidak disadari olehnya. Mengetahui hal itu, Sosrokartono memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan memilih untuk mendalami kemampuan yang tidak disadarinya itu. Tahun 1921 beliau melanjutkan studi ke  Paris untuk belajar mengenai Psychometrie dan Psychotecniek di Universitas Sorbonne, Paris. Akan tetapi, mata kuliah yang diterimanya sangat terbatas karena ia awalnya merupakan sarjana sastra dan kebudayaan. Karena hal itu, beliau merasa kecewa dan dengan perenungan yang mendalam memutuskan untuk kembali ke tanah airnya.

Pada tahun 1925 Sosrokartono memutuskan untuk kembali ke tanah airnya. Pada saat itu beliau memutuskan untuk tidak kembali ke Jepara, namun ia memutuskan menetap di Bandung dengan tujuan agar terhindar dari berbagai macam pergolakan politik yang ada. Bukannya disambut dengan bangga, Sosrokartono malah banyak tidak disukai oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan menjadi sosok yang sangat diwaspadai keberadaannya karena sudah sangat jelas bahwa ia bukanlah seorang sembarangan. Atas prestasi yang diraihnya di Eropa, Sosrokartono banyak ditawari pekerjaan di pemerintahan. Beliau pernah ditawari jabatan Bupati, Adviseur Vool Inlandse zaken dan direktur pada museum Bataviaasch Genooschaap Van Kusten en Wetenschappen di Jakarta. Namun, permintaan itu terus beliau tolak sehingga menimbulkan kecurigaan yang kian menjadi-jadi di pemerintahan Hindia Belanda. Bahkan atas tindakannya itu, Sosrokartono dituduh sebagai komunis dengan tujuan agar ia memiliki gerak terbatas sehingga ia akan merasa kesulitan hidup di tanah airnya.  Sosrokartono lebih memilih menjadi kepala sekolah di perguruan Taman Siswa, Nationale Middlebare School, Bandung.

Pada tahun 1927 Sosrokartono terpaksa harus keluar dari Taman Siswa karena tekanan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang tidak tertahankan. Dari itu kemudian beliau menjalani kehidupan yang sangat sederhana dan jauh dari kemewahan, bahkan dikatakan bahwa selama satu hari beliau mampu makan hanya dua buah cabai dan sebuah pisang. Beliau juga kerap kali puasa tanpa sahur dan berbuka hingga 40 hari lamanya. Semakin bertambahnya usia beliau semakin renta pula.  Secara fisik Sosrokartono kian melemah dan kerap jatuh sakit hingga kondisi terparah ia mengalami kelumpuhan.

Pada tanggal 8 Februari 1952 di rumah Jl. Pungkur No. 19 atau lebih terkenal disebut pondok Darussalam, Sosrokartono menghembuskan nafas terakhirnya dan di makamkan di Kudus, tepatnya di pemakaman Sido Mukti. Sebagai bentuk penghormatan terakhirnya, beliau dimakamkan tepat di samping kiri makam ayahnya RMA Sosrodiningrat dan ibunya Nyai Ngasirah. Di samping kanannya juga terdapat lahan kosong yang disediakan untuk makam R.A Kartini, namun dibiarkan kosong karena R.A Kartini dimakamkan di samping makam mendiang suaminya di Jepara.

Perjalanan hidup Sosrokartono merupakan proses yang sangat panjang dan penuh dengan perjuangan serta banyak menginspirasi banyak pemuda di tanah air. Karirnya yang begitu melejit di tengah-tengah bangsa Eropa tentunya juga menjadi suatu kebanggaan yang teramat sangat bagi bangsa. Pencapaiannya yang membanggakan di dunia pendidikan juga menjadi sosok yang sangat inspiratif bagi tokoh pejuang bangsa seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan lainnya. Menolak lupa, jenius dari Jepara.

Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah edisi 29 dalam rubrik Profil Tokoh.

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru