Ema baru saja memesan kopi pada pramusaji yang lewat. Ini sudah kopi yang ketiga yang dengan senang hati dihabiskannya, sendirian. Kafe ini penuh dengan kenangan yang belum bisa sirna dari pikirannya.
Selalu. Di sudut ruangan ini, di sofa berwarna hitam, sesak di atas meja yang selalu tersedia satu cangkir kopi hangat serta satu gelas minuman soda rasa anggur. Ema benci kopi, tapi pria yang selalu ada dihadapannya saat duduk berdua di kafe ini sangat menyukainya. Kini ia rela membeli puluhan cangkir kopi untuk memastikan bahwa pria itu ada dihadapannya.
Seorang pramusaji datang membawa secangkir kopi yang asapnya masih mengepul. Lalu pikirannya tentang masa lalu buyar, melebur bersama uap kopi di atas meja. Ema mendesah pelan. Ini sudah hari ketujuh ia melakukan aktivitas yang sama, duduk di kafe dan memesan kopi, dan berharap sekali saja pria pemintal kenangan itu datang, meminta maaf lalu mengajaknya kembali bersama. Tapi ia tahu, hal tersebut tak mungkin.
Disesapnya kopi hitam tanpa krimmer secara perlahan. Ema benci kopi. Rasanya pahit. Sama pahitnya dengan saat ditinggalkan oleh pria yang lebih memilih wanita lain. Ema tahu, besok-besok ia tak boleh lagi datang ke kafe ini. Cukup ini terakhir kali ia menduduki sofa hitam yang tak lagi terasa empuk. Ia harus melupakan pria itu. Pria yang dulunya sanggup 24 jam bersamanya di kafe ini, pria yang dengan sengaja mengahabiskan minuman sodanya, pria yang selalu menyuruhnya menyimpan tisu berlabel kafe ini. Pria itu baru saja menikah sebulan lalu.
Mungkin selain perbedaan agama, perbedaan usia yang sangat jauh juga menjadi pertimbangan seseorang saat menjalin hubungan. Ema tersenyum sinis, percuma menjalin hubungan dua tahun dengan pria yang berbeda usia sembilan tahun darinya. Padahal setahun lagi seorang Melisa Emaira akan menjadi wisudawati lulusan ilmu komunikasi. Kalau saja pria itu bisa menunggu. Ema kembali tersenyum sinis.
Kopinya habis. Menyisakan ampas dan sehelai tisu yang ada di atas meja. Biasanya Ema akan menyimpan tisu tersebut, namun tiba-tiba dalam hatinga terbesit niat untuk mencatat sebuah pesan, sebelum ia menginggalkan kafe ini untuk selamanya. Dikeluarkannya pena berwarna jingga kesayangannya. Perlahan, Ema menuliskan sederet kalimat.
Ema memasukkan pulpennya ke dalam tas, menaruh sejumlah uang di atas meja dan meninggalkan pesan tersebut. Ia bangkit dari duduknya, berharap esok kafe ini sudah lenyap dari peradaban dunia.
Ting ting ting…
Bel kecil yang terletak di atas pintu kafe bergoyang antusias, menandakan ada pengunjung datang. Lelaki berusia awal dua puluhan dengan penampilan kasual dan membawa ransel hijau sambil menyapa pandangan ke sekeliling kafe, mencari tempat duduk yang kosong.
Sofa hitam di sudut ruangan. Bergegas ia menuju ke sana sebelum direbut oleh pengunjung lainnya yang data-ng. Meja belum dibersihkan oleh pramusaji, tampak secangkir kopi yang tinggal ampas dan secarik tisu. Biasanya ia tak tertarik dengan sampah, namun saat ini entah mengapa ada semacam kekuatan yang menarik pandangannya untuk melihat tulisan berwarna jingga di atas tisu.
Seorang pramusaji datang membawa nampan. “Saya bereskan sebentar ya, Mas”.
“Boleh-boleh”. Ia meraih tisu yang ada di atas meja, lalu membiarkan pramusaji melakukan tugasnya.
“Pesan apa?”
“Lychee ice tea”
“Ada lagi?”
“Itu dulu”
“Atas nama siapa, Mas?”
“Raja”
“Baik, terima kasih. Mohon ditunggu pesanannya ya, Mas Raja”.
Raja hanya membalas dengan senyuman. Merebahkan punggungnya di atas sofa sambil mengamati tulisan tangan berwarna jingga yang rapi.
“Kepada siapapun yang membacanya, aku ingin sekali melupakan kenangan lamaku. Tolong bantu aku. Temui aku pada satu jam lebih banyak dari jumlah seperempat, ditambah sepertiga, ditambah setengah dari semua jumlah jam. Pada pukul tersebut, tolong temui aku di ujung jembatan di seberang kafe ini. Terima kasih”.
Otak Raja yang terbiasa melahap buku-buku tentang kedokteran tergelitik saat membaca teka-teki ini. Sebenarnya ia pergi ke kafe ini untuk sekedar mengakses Wi-Fi gratisan demi bisa berselancar mencari tambahan referensi untuk tugas dari dosen mata kuliah Kardioserebrovaskuler. Tapi teka-teki ini begitu menggoda untuk ia pecahkan. Ia mengeluarkan buku catatan mungil dan bolpoin dari dalam ranselnya kemudian mulai mencoret-coret.
Oke, petunjuk utama adalah “semua jumlah jam”.
Jumlah jam ada dua belas, berarti 1+2+3+4+5+6+7+8+9+10+11+12=78.
Sekarang seperempat, sepertiga, dan setengah dari jumlah itu.
Seperempat dari 78 – 19,5
Sepertiga dari 78 = 26
Setengah dari 78 = 39
Jumlahkan semuanya 19,5+26+39=84,5
Satu jam lebih banyak dari 84,5? Pasti maksudnya 8.45, dan satu jam lebihnya adalah 9.45!
“A-ha!” Raja berteriak sambil mengacungkan tinjunya ke atas, membuat pramusaji yang mengantarkan minumannya sedikit terlonjak. “Wah, maaf kalo mbaknya jadi kaget,” ujarnya sambil tersenyum lebar. Menarik sekali, pasti yang menuliskan teka-teki ini orang yang menarik!.
Pukul sembilan empat puluh keesokan harinya, Ema muncul di ujung jembatan seperti yang dituliskan pada pesan di atas tisunya. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya dua pengamen cilik yang sedang beristirahat sambil bercanda di bawah pohon. Masih ada waktu lima menit untuk menunggu si pemecah teka-teki.
Setiap jarum detik yang bergerak, semakin membuat Ema mulas karena hatinya diliputi rasa penasaran. Lima menit berlalu, tak ada tanda-tanda kemunculan manusia lainnya di situ. Hanya dua bocah pengamen yang gerak-geriknya sama sekali tidak memperhatikan kehadiran Ema, apalagi memecahkan teka-teki.
Ema menghela napas, ternyata cara ini tak berhasil. Siapa tahu tisu itu terbuang tanpa sempat terbaca oleh siapa pun, atau mungkin ada yang membacanya namun tak mengerti maksud dari teka-teki yang ia tuliskan. Sedikit kecewa, ia mulai melangkah meninggalkan tempat yang seharusnya menjadi tempat pertemuan antara dia dan penolongnya dari masa lalu.
“Kak!” salah seorang bocah pengamen memanggil Ema. Ema terkejut, mungkinkah anak itu yang bisa memecahkan teka-tekinya.
“Iya, Dek.”
“Nungguin orang, ya?”
“Ummm, kok tahu?”
“Orangnya pergi jam setengah
sembilan tadi.”
“Oh.”
Ema lemas, tampaknya si penolong tak bisa memecahkan teka-tekinya. “Tapi tadi katanya kalo ada yang datang sekitar lima belas menit lagi, kasih ini aja.”Tangan si bocah pengamen menjulurkan amplop sedang berwarna cokelat. Pupil mata Ema membesar, terkesima dengan hal yang tak pernah ia sangka.
“Buka secepatnya, kata masnya,” celetuk bocah pengamen yang satu lagi. Ema merobek amplop dan menemukan secarik kertas, ia mulai membaca tulisan yang ada di kertas.
“Kita tak perlu terburu-buru. Akan ada waktu yang tepat untuk bertemu. Namun jika ingin cepat menemuiku. Tunggulah sampai jarum jam tersenyum sempurna. Orang yang ingin kau temui akan ada di pintunya. Ransel hijau tersandang di pundaknya. Pergilah Ke tempat yang ada dalam tulisan ini. Obati rasa penasaranmu di hati. Segera melangkah dan jangan buang waktu lagi”.
“Sial! Ternyata teka-teki dibalas dengan teka-teki”, Ema menggerutu. Kapan ini? Di mana ini? Siapa ini? la memandangi kedua bocah pengamen, yang hanya dibalas dengan tatapan polos dan senyuman lebar.
Kedua bocah pengamen berlari kecil meninggalkannya. Ema agak malas memecahkan teka-teki ini karena pikiran tentang masa lalu dan segala kenangan tentang pria itu masih berkecamuk dalam benaknya. Tapi ia tak memungkiri, ada rasa penasaran untuk bertemu orang ini. Pastilah dia seseorang yang mempunyai kelebihan karena berhasil memecahkan teka-teki Ema di secarik tisu, semalam. Ema kembali menatap sederet tulisan tersebut.
“Tunggulah sampai jarum jam tersenyum sempurna”.
Ema melirik jam tangan di pergelangan tangan kanannya. Jam bisa tersenyum? Lalu ia teringat sebuah artikel yang pernah dibacanya, jarum jam di iklan-iklan sering kali membentuk senyuman. Saat jarum pendek menyentuh angka sepuluh, dan jarum panjang menyentuh angka dua, atau sebaliknya. Pukul 10.10 atau 13.50, yang mana?! Ema sendiri bingung harus bertanya pada siapa.
“Namun jika ingin cepat menemuiku… Segera melangkah dan jangan buang waktu lagi”.
“Yak! Pukul 10.10! Karena harus sesegera mungkin!” Ema melirik kembali jam tangannya, waktu menunjukkan pukul 09.57. Sempit sekali waktunya, sementara ia belum mengetahui tempat yang dimaksud.
“Pergilah ke tempat yang ada dalam tulisan ini”.
Mata Ema lekat membaca berulang-ulang tulisan di kertas. Tidak ada petunjuk tempat apapun di sana. Ema kembali mencermati tulisan dan fokus menatap rangkaian kalimat demi kalimat yang diberi jeda dengan titik. Dikeluarkannya pulpen bertinta jingga dari dalam tas, lalu menggarisbawahi setiap kata pertama pada tulisan itu.
Kita-Akan-Namun-Tunggulah-Orang-Ransel-Pergilah-Obati-Segera.
“A-ha! Akhirnya aku tahu!” Pekik Ema dengan semangat dan euforia. Tepat sekali, kantor pos letaknya dekat dari sini. la bergegas menuju kantor pos dan pikirannya kini hanya terpusat pada pertemuan dengan orang tersebut. Siapa dia? Anak mana? Apakah dia seorang malaikat yang Tuhan kirimkan? Bagaimana bisa orang tersebut memecahkan teka-tekiku? Semoga semua terjawab saat bertemu nanti.
Tempat kantor pos bercat jingga sudah terlihat dan Ema mempercepat langkahnya mencari seseorang yang memakai ransel berwarna hijau. Sialnya, sepagi ini tempat tersebut penuh sesak dengan orang yang akan mengirimkan paket entah untuk siapa. Dari jarak lima meter, Ema bisa melihat ada tiga orang yang memakai ransel hijau di pundak di depan pintu kantor pos. Yang mana salah satunya, Ema tak berani menebak. Ia mencari cara untuk bisa bertemu dengan lelaki tersebut. Cepat-cepat ia menuliskan beberapa kalimat di kertas teka-teki yang sudah tercorat-coret, memasuk-kan ke dalam amplop cokelat milik pria tersebut, lalu menengok sekeliling.
“Mas!” Ema memanggil seorang pemuda berseragam yang lewat di hadapannya.
“Ya, Mbak?”
“Mau minta tolong, boleh?”
“Boleh, Mbak. Tapi kalau minta tolongnya makan waktu, saya izin ke kantor pos dulu. Gimana?”
“Oh, bagus. Aku justru mau minta tolong kamu kasih amplop ini ke salah satu dari mereka.” Ema menyodorkan amplop cokelat yang sudah sedikit lecek.
“Orang yang mana, Mbak?”
“Yang pakai ransel hijau di pundak, Mas. Tolong banget, saya nggak punya waktu banyak.”
“Tapi yang pakai ransel hijau ada tiga orang. Yang mana, Mbak?” Lelaki tersebut balik bertanya.
“Saya yakin Mas bisa bantu saya. Tolong ya, Makasih.”
Ema tersenyum singkat, lalu sedikit gontai melangkah ke arah yang berlawanan dari kantor pos, meninggalkan pemuda yang masih kebingungan.
“Ada yang ngerasa punya amplop ini, enggak?!” Seorang lelaki setengah berteriak di depan teras kantor pos.
Sedikit menyita perhatian, beberapa orang menoleh ke arahnya sambil melihat yang teracung tinggi di tangan kanannya. Raja yang sedari tadi sibuk menatap jam tangan ikut terusik dengan kehebohan barusan. Ia menoleh, melihat pemuda itu mengacungkan amplop cokelat. Mata Raja terbelalak, ia segera menghampiri lelaki itu.
“Punya saya, Mas. Kok bisa ada sama Mas?”
“Beneran ini punya Mas? Syukur, deh. Ini yang ngasih pacarnya Mas? Kal ian lagi marahan? Ini karena mbaknya cantik aja, jadi saya mau tolongin. Nih!”
Raja hanya tersenyum tak menanggapi ocehan pemuda berseragam tersebut. Segera dibuka surat miliknya yang sudah penuh corat-coret oleh tinta berwarna jingga. Dan ada tulisan tambahan di balik suratnya. Cerdas! batin Raja. Raja berpikir pasti wanita ini tak mau pertemuan pertama mereka di kantor pos.
“Kembalilah pada sudut saat kamu melihatku pertama kali sekarang juga.”
“Ha? Aku bahkan belum tahu siapa gadis ini, bagaimana mungkin aku tahu tempat pertama bertemu? Duh!” pikirnya bingung.
Raja memandangi sekitar, tempat yang mungkin bisa jadi tempat pertemuan pertama kali. Matanya tertumbu kepada bangunan kantor pos berwarna jingga, lalu menatap tulisan di kertas yang dipegangnya, berwarna serupa.
“A-ha!” pekik Raja girang. Arti tulisannya itu bukan merujuk pada sosok si perempuan, tapi pada tulisan itu sendiri. Raja melihat tulisan berwarna jingga ini pertama kali di sofa hitam sudut kafe. Berarti ia harus kembali ke sana.
Tepat pukul 10.45 Raja sampai di depan kafe, kakinya agak ragu untuk melangkah masuk. Namun rasa penasaran mengalahkan keraguannya, ia pun memasuki kafe.
Sambil menggenggam amplop cokelat, Raja berjalan menuju sofa hitam di sudut kafe, di situ tampak seorang gadis berparas manis duduk sendiri, secangkir kopi hitam tampak di mejanya.
Ema melihat Raja, dan memberikan senyuman termanis kepadanya saat melihat Raja mengangkat sepucuk amplop cokelat.
Tulisan ini pernah tayang di buletin Ushuliyyah Edisi 28 dalam rubrik Cerpen.