Secara umum, Indonesia di sebut sebagai negara yang cenderung meremehkan permasalahan ekonomi. Hal ini didasarkan pada riset yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2019. Ketimpangan yang disebabkan oleh keterbatasan, rasa prihatin, dan romantisasi masa depan yang lebih baik. Ketimpangan itu pada akhirnya menjadi sebuah pemicu terjadinya ketidaksetaraan peluang.
Falsafah Hidup Hingga Realita Sosial
Seperti yang tertulis di bagian judul, tulisan ini akan spesifik membahas Daerah Istimewa Yogyakarta. Sayangnya, kata istimewa yang disematkan ke dalam kota pelajar ini, tidak selalu berbanding lurus dengan realita sosial yang ada.
Yogyakarta merupakan daerah yang sangat kental akan budaya Jawa yang di dalamnya termanifestasi atribut tradisi budaya yang menjelma menjadi sebuah tata pemerintahan yang diakui konstitusi. Salah satu nilai budaya yang dihayati sebagai falsafah dan orientasi hidup masyarakat di Yogyakarta adalah ‘nrimo ing pandum’ yang biasa dimaknai sebagai sebuah ajaran untuk bersikap seimbang dan harmonis.
Namun, falsafah yang menjadi orientasi masyarakat Jawa khususnya di Kota Yogyakarta itu tidak selamanya menjamin kualitas hidup mereka terutama dalam sisi ekonomi. Hal ini dibuktikan dengan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional oleh Badan Pusat Statistik Provinsi D.I Yogyakarta. Survei ini menyebutkan data presentasi penduduk miskin provinsi DIY dari tahun 2021 hingga 2023.
Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten/Kota (Persen), 2021-2023
D.I. Yogyakarta | 12,80 | 11,34 | 11,04 |
Kulonprogo | 18,38 | 16,39 | 15,64 |
Bantul | 14,04 | 12,27 | 11,95 |
Gunungkidul | 17,69 | 15,86 | 15,60 |
Sleman | 8,64 | 7,74 | 7,52 |
Kota Yogyakarta | 7,69 | 6,62 | 6,49 |
Survei Sosial Ekonomi Nasional, Badan Pusat Statistik Provinsi D I Yogyakarta
Yogyakarta dan Potensi Masyarakatnya
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa Provinsi DIY di pimpin oleh seorang sultan yang merangkap sebagai gubernur. Sayangnya, masyarakat Yogyakarta justru terjebak dalam relasi kuasa antara sultan dan rakyat biasa, hingga akhirnya masyarakat menjadi sangat tunduk dan patuh kepada sultan karena percaya bahwa ia adalah orang yang baik dan bijaksana sehingga pantas untuk mengasuh masyarakat.
Hal yang paling terlihat dalam relasi ini adalah ketika masyarakat membuat suatu gerakan. Gerakan yang ada justru cenderung bersifat sporadis dan reaktif karena hanya muncul ketika ada proyek pembangunan yang bersengketa dengan masyarakat.
Beberapa kasus yang kemudian menuai protes dari masyarakat adalah pembangunan Apartemen Uttara The Icon pada 2015,. Protes warga Miliran terhadap pendirian Fave Hotel yang menyebabkan sumur warga Miliran mengering pada 2015. Protes masyarakat Balirejo yang menolak pembangunan Apartemen Puri Notoprojo pada 2017 lalu. Hingga, isu pembangunan jalan tol Solo-Yogya yang menimbulkan kontroversi hingga kini. Hanya saja, belum ada gerakan lanjutan atau tuntutan yang benar-benar diperjuangkan hingga menjawab keresahan masyarakat DIY sejauh ini.
Sebuah Kesimpulan dan Kritik
Di sisi lain, secara geografis Provinsi DIY tidak dilimpahi dengan kekayaan alam seperti halnya wilayah Aceh, Papua, dan Kalimantan. Meski demikian, DIY memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui pengembangan sumber daya manusia, khususnya dalam sektor pendidikan dan pariwisata. Sektor-sektor ini telah menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta, yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi mereka secara konsisten melampaui daerah-daerah lain.
Beberapa tahun terakhir, terutama di Kota Yogyakarta, terjadi peningkatan signifikan dalam alokasi dana keistimewaan DIY untuk memperbaiki infrastruktur pariwisata. Pembangunan bandara internasional di Temon, Kulon Progo, memberikan dampak negatif secara ekonomi bagi masyarakat lokal. Dengan pembebasan lahan senilai lebih dari Rp 4,1 triliun, diharapkan masyarakat Kabupaten Kulon Progo dapat merasakan manfaat ekonominya. Namun, Fakta lapangan saat ini operasionalisasi bandara tersebut pada tahun 2019, memberi peluang yang tidak proporsional terhadap masyarakat Kulonprogo.
Alokasi dana keistimewaan DIY pada tahun 2017 mencapai Rp 853 miliar, meningkat menjadi Rp 1,7 triliun pada tahun 2018. Untuk mengatasi disparitas ekonomi yang semakin meningkat, perlu dipertimbangkan untuk mengalihkan fokus alokasi dana dan program secara signifikan dari Kota Yogyakarta dan Sleman ke arah Gunung Kidul dan Bantul. Pertumbuhan disparitas ekonomi yang semakin besar berdampak negatif bagi seluruh daerah, karena dapat memicu urbanisasi yang tidak terkendali sementara merugikan sektor pertanian di pedesaan karena kehilangan tenaga kerja yang produktif.
Variabel-variabel ini karena kuasa banyak di tangan kesultanan. Pihak kesultanan juga harus mampu membuat kebijakan agraria yang merepresentasikan kepentingan dan keadilan sosial. Perencanaan dan penetapan tata ruang yang baik, menyediakan ruang kebudayaan, ruang ekonomi, ruang sosial masyarakat hingga ruang hijau demi kesejahteraan alam harus dipertimbangkan dengan baik dan pemikiran jangka panjang. Bukan hanya sebatas membangun gedung-gedung megah dengan fasilitas yang lengkap dan alasan Jogja Kota Istimewa, Jogja Berhati Damai yang hanya dijadikan sebatas citra publik semata dan menggeser bahkan menggusur masyarakat desa. Oleh karena itu, solusi dari masalah gentrifikasi bisa dengan memperkuat right to the city dan right to the village penguatan hak atas masyarakat kota dan desa.