25.4 C
Yogyakarta
Monday, December 23, 2024
spot_img

Catatan di Pinggir Jalan Perjuangan

HMI selalu dipahami sebagai organisasi dengan visi besar. Kita semua tahu sejarah kelahiran HMI, tentang bagaimana Lafran Pane dan kawan-kawannya di masa itu berdiri tegak melawan ancaman yang menggerogoti eksistensi Islam dan bangsa. Tapi pertanyaan yang terus menggema—dan sering kita abaikan—adalah: apakah semangat itu masih ada di antara kita?, atau jangan-jangan kita hanya menjadi pewaris yang sekadar menikmati warisan tanpa benar-benar memahami nilainya?

Hari ini, HMI menghadapi tantangan yang tidak lagi sama seperti masa lalu. Ancaman fisik, tekanan ideologi tunggal, atau penindasan yang dulu dirasakan langsung, kini telah berganti wujud. Tantangan kita hari ini lebih halus, tetapi jauh lebih berbahaya: krisis sensitivitas, malas membaca, dan pragmatisme yang menyesakkan.

Mari kita mulai dengan berbicara soal membaca. Kita semua tahu, membaca adalah pintu pengetahuan. Namun, berapa banyak dari kita yang masih benar-benar menjadikannya sebagai teman dekat?. Sebagian besar kader hanya membaca jika itu untuk memenuhi tugas kuliah. Bahkan, seminar dan diskusi yang seharusnya menjadi ruang belajar sering kali berubah menjadi rutinitas kosong. Padahal, tanpa membaca, bagaimana mungkin kita memahami realitas secara mendalam?. Bagaimana mungkin bisa menempatkan diri kita sendiri sebagai insan ulil albab—manusia yang bijak dan berpikir kritis?

Malas membaca bukan sekadar kebiasaan buruk, Ia adalah tanda dari krisis yang lebih dalam. Ini mencerminkan hilangnya rasa ingin tahu, hilangnya kepekaan terhadap pengetahuan, dan—pada akhirnya—hilangnya semangat intelektual. Yang lebih menyedihkan adalah kenyataan bahwa banyak kader merasa tidak perlu lagi belajar. Seolah-olah menjadi kader HMI sudah cukup untuk mendefinisikan siapa mereka.

Di sisi lain, pragmatisme semakin menancapkan cengkeramannya. Banyak cabang yang kini sibuk dengan perebutan posisi, relasi dengan kekuasaan, dan keuntungan jangka pendek. Orientasi idealisme yang dulu menjadi ciri khas HMI perlahan memudar. Kita lebih sering melihat kader sibuk mencari akses atau kesempatan, daripada benar-benar menghidupkan nilai-nilai organisasi.

Pragmatisme ini bukan hanya soal pilihan pribadi, Ia telah menjadi budaya. Banyak kader yang menganggap politik praktis sebagai jalur utama untuk mencapai tujuan. Mereka lupa bahwa politik tanpa landasan nilai hanya akan melahirkan kehampaan. HMI yang dulu kita banggakan sebagai rumah intelektual kini perlahan berubah menjadi alat. Alat untuk ambisi pribadi, alat untuk mengejar kepentingan sesaat.

Ironisnya, Banyak cabang yang kehilangan fokus. Konflik internal semakin sering terjadi, sering kali karena benturan kepentingan. Nilai-nilai dasar seperti lima insan cita—yang seharusnya menjadi pegangan—justru terpinggirkan. Kita jarang mendengar kader berbicara tentang keislaman secara mendalam, tentang keilmuan yang progresif, atau tentang bagaimana menerjemahkan nilai kebangsaan dalam konteks modern.

Padahal, lima insan cita bukan sekadar slogan. Ia adalah jiwa dari HMI, panduan yang seharusnya membentuk karakter setiap kader. Tapi, bagaimana kita bisa bicara soal nilai jika kader sendiri enggan untuk belajar? Bagaimana kita bisa membangun peradaban jika refleksi mendalam saja dianggap tidak penting?

Situasi ini membuat kita merenung: apakah HMI masih berjalan di jalur yang benar?. Atau, jangan-jangan, kita sudah tersesat jauh? Ketika organisasi lebih sibuk dengan seremonial daripada esensi, ketika diskusi lebih sering menjadi ajang pamer daripada berbagi ilmu, maka ada sesuatu yang salah.

Tantangan terbesar kita bukan datang dari luar, melainkan dari dalam. Krisis identitas yang kita alami adalah hasil dari hilangnya fokus pada nilai-nilai dasar. Kita terlalu sibuk dengan urusan praktis, terlalu sering terjebak dalam rutinitas, hingga lupa bahwa menjadi kader HMI adalah soal tanggung jawab.

Lebih menyedihkan lagi, banyak kader yang merasa cukup hanya dengan membawa nama HMI. Mereka bangga dengan label “kader HMI” tetapi lupa bahwa label itu membawa konsekuensi besar. Menjadi kader HMI berarti memikul amanah untuk menjadi agen perubahan, bukan sekadar pengikut arus.

Namun, hari ini kita justru semakin jauh dari itu. Kita lebih sering berbicara soal teknis daripada ideologi, lebih sibuk mengurus kepentingan cabang daripada berbicara tentang masa depan bangsa. Di tengah semua ini, nilai-nilai besar yang dulu menjadi alasan berdirinya HMI perlahan terkikis.

Mungkin kita perlu berhenti sejenak, bukan untuk menemukan solusi, tetapi untuk bertanya kepada diri sendiri: apa yang sebenarnya kita lakukan? Apakah kita benar-benar memahami misi besar HMI, atau kita hanya berjalan tanpa arah?

HMI bukan sekadar organisasi mahasiswa. Ia adalah cerminan dari perjuangan dan mimpi besar. Tapi, jika kita terus berjalan seperti ini, apa yang akan tersisa dari HMI di masa depan? Mungkin hanya nama. Dan itu bukan warisan yang ingin kita tinggalkan.

Ariefiansyah Ibnu Ramadhan
Mahasiswa Studi Agama-Agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru