29 C
Yogyakarta
Sunday, June 1, 2025
spot_img

Filsafat Indonesia: “Wong Liyo Ngerti Opo”

Sebelum ulasan ini terjerumus pada paragraf yang serius filosofis, sistematis logis, kritis evaluatif atau apapun stigma yang selama ini tertancap dalam benak publik sebagai keruwetan khas tubuh filsafat itu. Saya ingin menegaskan bahwa pandangan ini hanyalah uraian sederhana yang muncul sebab video tiktok, aplikasi yang selama ini selalu diolok-olok sebagai kandang monyet itu memantik saya untuk kembali merenungi Filsafat Indonesia. Sungguh aneh, aplikasi yang dekat dengan kedangkalan, penyumbang sebab-sebab patologi kontemporer bernama brain rot, justru menyuntikkan spirit literasi yang meletup-letup.

Di tengah kemelut korupsi, legalisme otokrasi, otak-atik konstitusi, stagnasi reformasi birokrasi dan segenap kepayahan negara dalam mengatur hajat hidup masyarakat, menonton video pendek di Tiktok memberikan suaka untuk sejenak menepi, mengambil jeda lalu menghela nafas atas penatnya hidup di negara yang pilu tapi menggemaskan. Bayangkan betapa luar biasanya Indonesia ini, ekonominya rendah tapi indeks kebahagiaannya tinggi, filsafat stoikisme jelas ketar-ketir dengan fakta ini. Tapi itulah Indonesia, hidup di atas “ketidakmungkinan” yang jadi “mungkin”.

Menjadi manusia Indonesia adalah takdir untuk mencicipi ragam bentuk kemewahan, keberagaman yang ada telah membawa Indonesia dari “ketidakmungkinan” menuju “ketidakmungkinan” lain, lalu berupaya untuk “memungkinkan ketidakmungkinan” menjadi “mungkin”. Jika anda bingung, selamat, anda telah berfilsafat. Generasi 1928 memungkinkan hadirnya persatuan meski dirundung kecemasan. Generasi 1945 memungkinkan proklamasi kemerdekaan. Generasi 1998 memungkinkan reformasi setelah 32 tahun dihantui ketidakmungkinan akan perubahan sosial. Ketidakmungkinan yang jadi mungkin adalah kemewahan itu sendiri.

Setelah filsuf, pemikir, dan pengkaji Filsafat Indonesia berdebat hebat, melangsungkan simposium, memungkinkan yang tidak mungkin, menjalankan telaah kritis terhadap sejarah, dinamika, gairah, dan relevansi pemikiran filosofis Indonesia. Semua hasilnya tersimpan rapi, sunyi, dan suci di kamar kos para pemikir atau perpustakaan kampus. Yang muncul di permukaan dan hadir dalam tubuh manusia Indonesia muda justru kelakar esoteris bernada “wong liyo ngerti opo” atau dalam bahasa Indonesia berarti “orang lain mengerti apa”. Bagi sebagian pemikir ini sepele, tapi menurut saya tidak, inilah puncak refleksi filosofis Gen Z Indonesia.

Filsafat Retrospektif Indonesia

Filsafat adalah tubuh yang sunyi, sepi, dan nyaris tanpa tepuk tangan. Dalam tubuhnya menyimpan egosentrisme sebagai ibu ilmu pengetahuan, semua disiplin ilmu berhutang budi pada dirinya. Namun kini, tubuhnya koyak, tertatih-tatih, terjangkit krisis, tak mampu menyusul anak-anak yang ia lahirkan, tepuk tangan publik tak tertuju pada jerit payah sistematis dirinya sebagai ibu, anak-anaknya melenting tinggi, luwes seperti rotan dan ramai dengan riuh lalu lalang tepuk tangan. Filsafat, lagi dan lagi tetap dingin di atas gunung, melihat realitas dengan cemas, bersiap menghadapi satu kepercumaan hidup ke kepercumaan hidup lain.

Berangkatlah kita pada pertanyaan ontologis, apa itu Filsafat Indonesia? beberapa pemikir menunda diri untuk turut memberikan definisi, pemikir lain berdebat tentang urgensi mendefinisikan, sebagian menganggap pekerjaan mendefinisikan tidak cukup penting, sementara yang lain mengurai berbagai metode esensialis dan alat-alat yang tak cukup baik untuk menjernihkan keruh yang telah ada. Dari M. Nasroen dalam bukunya Falsafah Indonesia (1967) hingga esai ringkas Saras Dewi “Menjalin Filsafat Indonesia” yang tayang di Kompas, beserta rentetan uraian balasan telah memperkaya upaya kita untuk mencari diri Filsafat Indonesia.

Saya setuju dengan komentar Martin Suryajaya dan Syarif Maulana, bahwa tidak perlu mencari yang esensialis dalam filsafat Indonesia. Seluruh praktik berfilsafat yang saat ini tengah berkembang, itulah deskripsi filsafat di Indonesia. Gagasan filsafat Indonesia mengendap di dalam ekspresi-ekspresi berkesenian: tarian, kidung, pahatan, yang brilian dan tidak saja indah, tapi juga memiliki kemanjuran sosial (Saras Dewi, 2021). Maka dapat kita tarik titik tengah bahwa Filsafat Indonesia adalah keseluruhan cara hidup (praktis) dan cara pikir (teoritis) manusia Indonesia untuk mengoptimalisasi segala daya potensi yang ada.

Kini kita masuk pada perdebatan metode menengok ke belakang (retrospektif), metode yang identik dengan menuhankan masa lalu dan ada semacam keterjebakan pada giat romantisme masa lampau. Pola retrospektif dinilai tak akan membawa dunia filsafat Indonesia kemanapun, mengeruk nilai masa lalu untuk masa kini memang baik. Tetapi jika kita membiarkan diri terus terjebak pada masa lalu, maka tak akan ada ruang buat Filsafat Indonesia berevolusi dan bermetamorfosa. Filsafat Indonesia seperti kepompong, yang tak akan pernah jadi kupu-kupu karena ia selalu hidup dalam kerinduannya menjadi ulat. (B.A Pamungkas, 2021).

Saya tidak ingin mengatakan bahwa metode retrospektif hanya berujung sia-sia, penggalian masa lalu untuk dijadikan sumber dalam membentuk bangunan filsafat Indonesia layak dilanjutkan, sebab disanalah timbunan nilai filosofis berada. Jika mengutip analogi kuno mahasiswa sejarah, maka mengeksplorasi masa lalu adalah praktik menarik panah agar mampu melesat lebih kencang kedepan, tanpa refleksi akan masa lampau, kita akan menggali kuburan yang sama. Maka retrospektif dalam upaya mendefinisikan filsafat Indonesia tidak sepenuhnya salah dan harus ditelantarkan.

“Wong Liyo Ngerti Opo”

Langit tampak cerah bersinar, ia baru saja menenggelamkan bulan dan menyambut datangnya matahari, embun suci yang mewarisi spirit pagi juga sedang menetes, saya yang biasanya sarapan soto, entah mengapa pagi itu memilih untuk bergeser ke warmindo. Duduk pria dengan celana jeans lusuh, bajunya kotor dan bolong, wajahnya muram, matanya sayu seperti baru saja tertimpa rentetan kekalahan hidup, saya menatapnya lama, kaki kanannya ternyata luka, kulitnya mengelupas seperti bekas kecelakaan, ia memesan kopi kapal api, duduk sendirian menghadap selatan, masih dengan tatapan kosong tanpa gurat senyum sedikitpun.

Dalam hati saya berbicara, pengalaman hidup apa yang sudah bapak ini lalui, kesusahan macam apa yang membuat dirinya tampak tak begitu semangat menatap fajar pagi, di mana Tuhan yang katanya maha baik itu, kenapa dia biarkan penderitaan menggerogoti tubuh pria hampa ini. Saya menatapnya ulang, nampaknya dia baru saja mengalami kekalahan hidup, hampir tiga puluh menit duduk, dia hanya diam dan merenung kosong, hanya sesekali menatap ke-atas. Sial, saya terbawa oleh sayu tatap matanya, gejolak hati mengajak diri untuk turut bersedih, rasa iba tak bisa ditolak, nampaknya dia benar-benar kalah dengan kerasnya semesta yang fana.

Tapi mengerti apa saya tentang hidup bapak itu, hanya melihatnya saja pada pertemuan pertama. Mungkin dia akan mengatakan “kamu paham apa tentang hidupku” saat saya berupaya menanyakan keadaannya. Tapi semua khayal itu berhenti menjadi mungkin, kompleksitas yang ada dalam tubuh pria itu tak akan pernah saya ketahui utuh sebab “wong liyo ngerti opo?”, lagi-lagi mengerti apa saya tentang hidup bapak itu. Inilah puncak retrospektif manusia Indonesia, kekalahan yang beruntun akibat penguasa yang tak berpihak pada kepentingan publik, telah membawa ratusan juta manusia pada momen kontemplatif.

Saya mungkin hanya “mengetahui” kondisi luar tapi tak pernah “mengalami” kekalahan yang sama seperti apa yang bapak itu rasakan. Persis seperti apa yang dikatakan al-Ghazali, filsuf yang dianggap turut bertanggung jawab atas kematian filsafat dan rasionalitas dalam tradisi islam, ia membedakan antara mengetahui dan mengalami. Proses mengetahui adalah perjumpaan antara pengetahuan rasional dan konseptual, kita mengerti sufisme secara teori tapi tak akan pernah memahami utuh pengalaman spiritual yang dialami sufi. Sedangkan mengalami adalah pertemuan antara pengetahuan langsung dan intuitif, sifatnya personal dan mendalam, dunia imajinal dan getar spiritual yang dipahami oleh sufi tak akan bisa ditransfer sepenuhnya kepada orang lain.

Bapak pagi itu adalah gambaran kecil kita, orang biasa yang 24 jam ditindas oleh penguasa, kita mengalami kekalahan, kesedihan, kegagalan dan kesunyian panjang akibat penindasan oleh mereka yang punya kuasa. Orang berkuasa itu membonceng kampus untuk mendapatkan stempel ilmiah, mengajak ulama ormas keagamaan untuk meminta stempel moral atas banalitas yang mereka lakukan. Kita adalah orang-orang biasa yang selalu mengalami kekalahan dan lelah dengan kekalahan, bahkan berimajinasi untuk menang saja kita takut dan memilih diam, berefleksi atas kepayahan hidup yang kompleks lalu berkata “orang lain tak akan pernah tahu apa yang aku rasakan”.

Ilmu padi yang menyelimuti jagat sosial media tahun lalu, harus digeser dulu dengan ilmu “wong liyo ngerti opo”. Ungkapan berbahasa Jawa yang menandakan seseorang telah menjalani sesuatu kejadian yang hebat yang mungkin tidak pernah dialami orang lain. Seperti seorang sufi, penyucian diri yang dia alami tidak akan pernah dipahami oleh kita yang hanya mengetahui, seperti bapak yang memesan kopi kapal api itu, mata sayu dan kehampaan yang dia pendam hanya akan kita ketahui tanpa benar-benar utuh kita pahami. Sekali lagi, “wong liyo ngerti opo” bukanlah hal sepele, jika boleh berlebihan, inilah puncak retrospektif filsafat Indonesia.

Related Articles

Stay Connected

- Advertisement -spot_img

Artikel Terbaru